32. Shoping oey

68.7K 4.1K 182
                                    

"Istri bukan untuk diperintah agar bekerja. Istri hanya bertugas melayani dan taat pada suami," lanjut Ayub lagi. "Suami akan lebih mulia kalo membantu pekerjaan istri di rumah. Sama seperti yang dikerjakan Rosul."

Lagi, Salwa terpaku menatap Ayub dengan sejuta pikiran yang membuat mukanya menjadi kaku. Merasa suaminya tidak banyak menuntut. Lebih sering memberi contoh.

Ayub bergegas ke kamar kecil dan mandi. Air dingin yang mengucur deras dari shower membuat tubuhnya terasa segar.

***

Usai shalat maghrib, Ayub memanjakan diri duduk di depan meja kerja.  Naskah novel telah selesai ia garap.  Setelah ngeprint, ia menjilid dan menjadikannya buku.  Selesai.  Ada gambar perempuan memakai hijab di sampulnya.  Ia menyimpan buku di dalam laci.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

“Masuk!” seru Ayub.

Pintu terbuka dan Salwa menyembul masuk.  Ia sudah mandi dan tampak segar.  Kerudung berwarna orange yang membalut kepalanya membuat wajahnya semakin cantik.  Kali ini ia memasang kerudung lebih rapi. 

Ayub berhenti mengetik.  Sesaat terkesima menatap Salwa.

“Kamu sibuk?” Salwa mengamati laptop yang menyala di depan Ayub.

“Enggak.  Ada apa?”

Salwa menarik kursi dan mendekatkan kursi itu kepada Ayub.  Lalu duduk di sana.

“Mmm… gimana ya ngomongnya?” bingung, matanya liar menyapu seisi kamar.

“Ada apa, sih?” dahi Ayub mengerut.  Penasaran melihat tingkah Salwa. 

“Tapi kamu jangan marah, ya?”

Ayub tersenyum.  “Kapan sih aku marah sama kamu?”

“Iya ,ya?  Kamu nggak pernah marah.  Cuma bawel doang.”  Mata Salwa membulat dan hidungnya mengkerut.

“Ya udah, ngomong aja.  Kenapa?”

“Aku bosan di rumah,” celetuk Salwa cepat.

Astaghfirullahaladzim.  Ayub tidak pernah mengajak Salwa jalan-jalan sampai akhirnya membuatnya merasa bosan. 

“Baiklah, apa rencanamu?” tanya Ayub.

Salwa mengedikkan bahu.  “Aku pengen keluar.  Tapi nggak tau mau kemana.  Bawa aku keluar untuk ngilangin rasa bosen.”

“Oke, kalau gitu sekarang kita keluar jalan-jalan.”

“Beneran, nih?  Sekarang?” Salwa girang.

“He’emh…”  Ayub mengangguk. 

“Yess!!  Asiiik…  Ayo kita pergi.  Aku udah siap.”  Ia berputar memperlihatkan bajunya yang longgar meski celananya masih pakai jeans.  “Tapi kita mau kemana?”

“Makan di luar.” Ayub mengulum senyum.

“Dimana?”

“Nanti kamu juga tahu,” jawab Ayub sambil mematikan laptop dan melipatnya.

“Tapi kalau kita makan di luar, masakanku gimana, dong?  Aku tadi masak sambal ayam.  Udah kucicipi, nggak keasinan, kok.”

“Kita masukin ke kulkas.  Kan bisa untuk sarapan besok pagi.”

“Ide bagus.”  Salwa mengacungkan jempol.

Setelah Ayub selesai berkemas, mereka keluar dan berboncengan dengan mengendarai motor gede.

Sesampainya di mol, mereka berkeliling dan memasuki sebuah tempat penjualan pakaian muslim.  Berbagai model baju gamis terpasang di manekin boneka pajangan, semuanya indah dengan pasangan kerudung berwarna-warni. 

“Katanya mau makan, kok malah kesini?” tanya Salwa polos.  Ia tidak menemukan makanan di sekelilingnya.  Justru beraneka ragam pakaian.

“Pilihlah pakaian yang kamu suka.”

Salwa terbelalak.  “Aku boleh ambil pakaian?”

Ayub mengangguk.

“Yess!  Yess!!”  Salwa melompat-lompat kegirangan.  “Berapa pasang?”

“Berapapun yang kamu suka.”

“Asiiiik…”  Salwa menghambur mulai memilih-milih pakaian.  Ia menoleh ke Ayub ketika melihat pakaian yang menurutnya bagus.  Beberapa kali ia keluar masuk kamar ganti untuk mengetes pakaian.  Wajahnya cerah setiap keluar dari kamar ganti.  Sayangnya Ayub tidak melihatnya mengenakan pakaian yang dipilih.  Begitu keluar dari tempat ganti baju, ia kembali mengenakan pakaian dari rumah. 

Ayub membayangkan kecantikan Salwa saat mengenakan hijab dan pakaian gamis yang indah.  Pasti cantik.  Wajah Salwa rupawan, dengan mata indah dikelilingi bulu lentik dan alis mata bulan sabit, tentu akan menjadi sempurna bila dihias dengan pakaian indah.  Ayub tersenyum membayangkan apa yang ada di kepalanya.

Setelah lama berkeliling membeli pakaian, Ayub mengajak Salwa memasuki restoran.  Ekspresi sumringah menghias muka Salwa begitu menginjakkan kaki di restoran mewah. 

Seorang pelayan menghampiri dan menawarkan selembar menu ketika mereka sudah duduk berhadapan di salah satu meja. 

Salwa bingung, tidak tahu harus memilih menu apa ketika kertas menu disodorkan kepadanya.  Bermacam-macam masakan tersedia, semuanya asing di matanya.  Salwa pindah posisi duduk, tepatnya di kursi sebelah Ayub.  Lalu menggeser kursi itu hingga tidak berjarak dengan kursi Ayub.  Tubuhnya merapat dan wajahnya sangat dekat dengan wajah Ayub.  Posisi itu membuat organ tubuh Ayub merasakan getaran aneh. 

Dengan wajah merah semu Salwa menyentuh tangan Ayub dan berbisik, “Aku nggak tau ini makanan apa.  Semuanya aneh.  Aku harus pilih yang mana?”

Tersenyum, Ayub mengambil kertas menu, lalu memesan makanan kesukaannya dan menyuruh pelayan menyajikan dua porsi. 

Sepeninggal pelayan, Salwa tertawa cekikikan.  Merasa konyol pada dirinya sendiri.  Sementara tangannya masih menggenggam jari-jari Ayub, membuat Ayub merasa ada setrum yang mengaliri peredaran darahnya.  Jantungnya berdesir.  Perasaan aneh menggejolak dan membuncah di dalam dada.  Ini pertama kalinya dalam hidupnya.  Ayub menarik napas dalam-dalam.  Salwa telah melumpuhkan hatinya dalam waktu sesingkat itu. 

Dalam hubungan rumah tangga, suami istri berinteraksi sedekat itu adalah hal biasa, tapi tidak bagi Ayub.  Luar biasa.  Sebab selama ini ia merasakan seperti ada benteng tebal yang membuatnya merasa memiliki jarak dengan Salwa.  Bagaimana tidak, mereka menikah tanpa pertemuan dalam bercinta.

Meski dalam keadaan seramai ini, Ayub merasa cuma berdua saja.  Yang lain hanya bayang-bayang.  Ah, betapa sulit menggambarkan perasaan orang yang sedang jatuh cinta.  Semuanya indah.

Suasana romantis pecah ketika pelayan datang menyajikan hidangan.  Mereka langsung menikmati.  Perlahan hidangan menyusut.

Ponsel di saku celana Ayub bergetar.  Ayub meletakkan sendok dan garpu lalu meraih ponsel di saku celana.  Ada pesan masuk.  Dari Nabila.

Boleh gk nanti aku ke rumahmu?

Tertegun, Ayub bertanya-tanya.  Ada apa Nabila ingin ke rumah?  Pengtingkah?  Tapi soal apa?  Ayub membalas.

Aku gk di rumah.

Nabila membalas lagi.

Sekitar 1 jam lagi ap kmu masih gk di rmh?

1 jam lagi insyaa Allah aku udh di rmh.
Ada prlu ap?

Ada ssuatu yg ingin kusampaikan.

Sepenting apa sih?  Sampai-sampai mesti harus datang ke rumah?  Pikir Ayub mengernyitkan dahi.  Tapi ia tidak mau banyak tanya, sehingga membalas singkat.

Oke

Ayub melihat arloji di tangan.  Sudah pukul 20.00. 

(Bersambung…)

IG : @emma_shu89

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora