10. Tangisan

72.6K 4.4K 190
                                    

“Mas Ayub, jika Mas memilih islam sebagai keyakinan hidup, maka berhati-hatilah dalam memilih jodoh.  Sebab istri akan menjadi teman hidup, akan memberi keturunan.  Lalu gimana nasib pendidikan agama keturunanmu bila dibawah didikan istri yang nggak ngerti tentang agama?  Bukankah rumah tangga wajib dibentuk dengan dasar yang kokoh, dasar iman dan tauhid?  Tapi apa yang akan Mas dapetin kalau menikahi anak dibawah umur?  Anak yang nggak ngerti dengan tugasnya sebagai istri, melayani suami, mendidik anak-anak.  Itu justru akan menjadi beban berat untuknya.  Istri dan anak bukannya menjadi rizki untukmu, tapi justru menyeretmu ke neraka.  Maaf Mas, bukan maksudku turut campur urusan pribadimu, tapi masalah Salwa juga merupakan masalahku.”

“Kamu benar Nur, mencari jodoh harus hati-hati.  Cari yang seiman, soleh dan solehah, tapi itulah perlu adanya pendidikan.  Manusia nggak ada yang sempurna.  Perlu dididik untuk membentuk akhlak yang mulia.  Akhir dari kata salihah akan terjawab setelah pendidikan itu diterima.”

Nur menundukkan pandangan. 

“Mas, gimana kalau Salwa kuangkat jadi adikku aja?  Biarlah dia tetap ngelanjutin sekolah.  Biaya sekolah biar aku yang nanggung.  Dia akan tinggal di tempat kosnya dulu.”

“Tanpa sepengetahuan orang tuamu?  Apa orang tuamu bakal setuju dengan keputusanmu?”

Kali ini Nur tidak menjawab. Ia kehabisan kata-kata.  Ia yakin orang tuanya tidak akan menyetujui.  Sedangkan untuk menampung Salwa tinggal serumah dan membiayai makannya sehari-hari saja orang tuanya tidak setuju, apa lagi jika Nur sampai menyekolahkannya?

“Jangan lakukan jika tanpa persetujuan orang tuamu.  Masih ada cara tanpa harus membuat hubunganmu dan orang tuamu berjarak karena perbedaan pendapat.”

“Ya Allah Mas, aku sangat berharap menjadi orang pertama yang bisa menolong Salwa.  Tapi jika kayak gini caranya, aku jadi bingung.”

“Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.”

“Semoga.  Aku hanya berharap masa remaja Salwa nggak putus di pernikahan.  Termasuk jika kamu menikahinya.  Jadi kumohon, jangan nikahi dia.”

Ayub tersenyum, terbesit kekaguman pada gadis di hadapannya.  Nur terlihat begitu istimewa dengan sikapnya yang sangat memperdulikan Salwa.  Begitu banyak cara yang ingin dilakukannya demi Salwa, tapi terhadang oleh berbagai kendala.

Ayub masuk ke rumah dan langsung menuju kamar.  Meraih ponsel di laci meja kemudian menelepon Abi.  Beberapa kali menghubunginya tapi tidak diangkat.  Mungkin Abi sedang sibuk, pikirnya.  Ia kemudian mengetik sesuatu di kolom pesan dan mengirimkannya pada Abi.  Setelah itu, menelepon Zul.  Sahabatnya itu tidak kelihatan di masjid saat shalat maghrib berjamaah.  Akhir-akhir ini Zul selalu sibuk dan sering lalai dengan kewajibannya untuk menjalankan shalat.  Jika Ayub mengingatkan, Zul hanya bilang, “Tuhan maha Tahu, maha penyayang.  Tuhan tau aku butuh pekerjaan.  Tuhan juga tau aku mencintainya.”  Oke, Ayub mengerti.  Tapi bukankah shalat adalah amal yang pertama kali dipertanyakan?

Telepon tersambung.

“Ada apa, Yub?” tanya Zul di seberang.

“Kamu dimana?”

“Di rumah.”

“Sibuk?”

“Enggak.  Ada apa?”

“Bisa ke rumahku bentar?”

“Oke, siap.  Aku kesitu.”  Zul mematikan ponsel. 

Hanya butuh beberapa detik saja Zul melangkah dan sampai ke rumah Ayub.  Ia tak perlu mengetuk pintu.  Kedatangannya ke rumah sudah hal biasa.  Sudah seperti saudara.  Ayub keluar kamar dan menemuinya di ruang tamu.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang