14. Kau Masuk Kamarku?

86.4K 4.6K 119
                                    

Pukul 07.00, Ayub keluar kamar dengan tampilan berbeda, mengenakan kemeja biru dilapisi jas hitam, dihiasi dasi loreng biru putih, rambut disisir rapi. 

Tersenyum, ia melihat penampilan yang tak biasa pada tubuhnya sendiri.  Bukan karena mau mejeng, tapi hari ini ia akan memulai bekerja di perusahaan percetakan buku islami sebagai asisten manager.  Tak lain perusahaan milik Ustad Zaki.  Jabatan keren untuknya yang belum lulus kuliah.

Sehari sebelum akad nikah, ia meminta bantuan Ustad Zaki untuk mencarikan pekerjaan.  Ustad Zaki tidak keberatan meski jam kerja Ayub tidak full, alias bekerja disisa jam kuliah.

Ayub mematikan satu persatu lampu yang masih menyala di setiap ruangan.  Ia membuka tirai jendela ruangan tengah, sinar matahari menembus kaca bening dan masuk ke ruangan.  Sesaat ia menikmati sinar keemasan yang terasa hangat menyentuh kulit.  Kemudian ia berjalan ke arah meja dapur.  Meja bersih.  Tak satu pun makanan tersedia di sana.  Panggilan pagi mulai menggelitiki perut, keroncongan.  Ayub membuka kulkas, menyambar apel dan memblendernya menjadi jus, lalu menuangkannya menjadi dua gelas.  Setelah itu, ia memasak mie instan dengan lauk telur ceplok.  Sebenarnya mie instan bukanlah pilihan tepat untuk sarapan sehat.  Tapi mau bagaimana lagi, waktu sudah mendesak.  Dari pada telat. 

Dua piring mie goreng dan dua gelas jus apel telah tersedia di meja makan.  Asapnya ngepul, mengorek-ngorek hidung dan membuat perut semakin lapar. 

Ayub berjalan menuju kamar Salwa.  Mengetuk pintu beberapa kali.  Tapi tak ada jawaban.  Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba mendengar suara di dalam.  Sepi.  Tangannya terayun meraih knop pintu lalu memutarnya hingga pintu terbuka.

Wuush… tubuhnya langsung dibelai angin sejuk yang keluar dari AC.  Sekilas pandangannya menyapu seisi ruangan.  Ada TV besar terpajang di atas meja, lemari empat pintu, sebuah kursi dan meja yang diatasnya terdapat lampu duduk, serta spring bed berukuran besar yang diatasnya terbaring tubuh mungil Salwa.  Istrinya itu masih tidur pulas, separuh tubuhnya tertutup bed cover dengan posisi membelakangi. 

Ayub mendekati dan tangannya menjulur ingin membangunkan, tapi terhenti di udara.  Urung.  Takut membuat Salwa menjadi kesal karena istirahatnya terganggu.   

Ayub berbalik.  Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Salwa menggeliat.  Kemudian dilanjutkan hardikan keras.  “Kau masuk kamarku?” 

Ayub menoleh menatap muka Salwa yang murka.  Kemudian kepalanya mengangguk dan menjawab, “Ya.  Aku cuma mau ngebangunin kamu.  Tapi nggak jadi karena tidurmu pulas banget.”

“Aku udah bangun.”  Salwa bangkit bangun dan turun dari ranjang.  Berdiri tegap.  Berusaha menunjukkan bahwa ia sudah tidak mengantuk dan tidak perlu dibangunkan.  Tapi sayang, matanya masih merah.  Rambutnya yang hitam dan indah itu tidak terlihat kusut meski ia baru saja bangun dari tidur.  Piama tanpa lengan dengan bawahan sejengkal membalut tubuhnya.  Persis seperti seorang model pakaian tidur yang siap dibidik kamera.

Penampilannya yang minim membuat Ayub mengalihkan pandangan.  Ah, konyol.  Salwa telah halal baginya, tapi rasa canggung membuatnya tak ingin melihat Salwa dalam penampilan seperti itu.

“Ngapain sih pake ngebanguin segala?  Aku kan bisa bangun sendiri?” hardik Salwa lagi.

Ayub melirik jam dinding dan membuat pandangan Salwa mengikuti arah pandangannya.  Pukul setengah delapan. 

“Iya iya… Aku bangun kesiangan.  Gitu aja bawel,” ketusnya membuat Ayub sedikit terkejut.

Yang ngebangunin siapa?  Yang bawel juga siapa?  Kemudian dengan nada lembut Ayub berkata, “Tadinya aku cuma mau ngasih tahu sarapan udah siap di meja makan.”

“He’em…”  Salwa mengangguk sembari melempar lirikan pedas dan ekspresi masam, bahkan lebih masam dari jeruk purut.

“O ya, ini uang untuk belanja.” 

Salwa menatap setumpuk uang yang disodorkan ke arahnya.  Tangannya ragu untuk menerima. 

Melihat Salwa diam, Ayub meletakkan uang itu ke telapak tangan istrinya.

“Peganglah.  Kamu bisa pakai untuk keperluanmu.  Mungkin beli baju, bedak atau apapun.”

Salwa diam.

Ayub keluar kamar sebentar dan kembali membawa sebuah benda. 

“O ya, aku beliin ini untukmu.”  Ayub menyerahkan ponsel yang masih dalam kemasan kotak. 

“Ini... ponsel?” tanya Salwa ragu-ragu seraya membolak-balikkan kotak yang dipegangnya.

“He’emh..” Ayub menganggukkan kepala.

“Untukku?”

“Ya.”

“Yess!”  Salwa girang.  “Android kan?  Model terbaru kan?  Tipe tinggi kan?  OS berapa?”

Kebiasaan!  Suka mengajukan pertanyaan beruntun.

“Liat aja dalemnya, entar juga tau.”

“Ya udah deh.”  Salwa cepat-cepat membuka kotak ponselnya.

“Kutunggu sarapan di meja makan.”

“Aku belum mandi.  Kamu makan aja duluan.  Aku akan lama,” sahut Salwa dengan pandangan fokus ke ponsel yang baru dibuka.

Ayub keluar dan menutup pintu.   Ia kembali ke meja makan.  duduk di depan mie goreng.  Beru satu suap, ia geleng-geleng kepala.  Bukan tidak enak, tapi tidak berselera.  Nafsu makannya hilang entah kemana.  Ayub meletakkan sendok dan garpu ke piring lalu mengembalikan mie goreng ke dalam tudung saji.  Ia menyeduh sedikit jus apel.  Lalu berjalan keluar rumah mengeluarkan motor gede dari garasi yang berukuran luas.  Sebenarnya garasi mobil, tapi yang ia punya hanya sepeda motor.   

Ban motor lepas meninggalkan halaman rumah.  Hup, kakinya bergegas menginjak rem saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya.  Mobil elit yang sangat ia kenal.  Milik Nabila.

Wajah gadis bermata indah itu menyembul keluar dari balik kaca yang terbuka.  Seorang supir di bagian kemudi tersenyum menyapa. 

“Assalamu’alaikum…  Ayub?” sapa Nabila dengan senyum manis. 

Sekali lagi, Nabila mengenali Ayub meski wajahnya tertutup helm.

Ayub membuka kaca helm dan menjawab, “Wa’alaikumusalam…  Apa kabar Nabila?”

“Alhamdulillah baik.  Pagi-pagi gini kok kamu udah ada di situ?” Nabila mengamati rumah yang baru saja Ayub tinggalkan. 

“Ya, sekarang aku tinggal di rumah itu.”

“Kamu pindah rumah?” tanyanya girang.

Ayub mengangguk.

“Berarti kita tetanggaan, dong.  Itu rumahku.”  Nabila menunjuk rumahnya yang bersebelahan dengan rumah baru milik Ayub.   

Ayub melayangkan pandangan mengikuti arah telunjuk Nabila, pada sebuah rumah megah.  Tamannya luas.  Seperti istana.

“Mampirlah ke rumahku.  Kamu bisa makan bersama dengan keluargaku disana,” pinta Nabila.

Ayub mengangguk.

“Kamu mau kemana?  Tumben, rapi banget?” tanya Nabila menyapu penampilan Ayub yang tidak seperti biasanya.

“Aku akan mulai bekerja setelah kuliah.”

“Alhamdulillah…  semoga lancar.  Baiklah, aku duluan.  Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumusalam…”

Mobil Nabila melesat pergi.

(Bersambung…)

Pagi ini posting untuk pengantar subuh, biar pada bangun tahajudan. Heheeee...

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang