37. Aroma

64.2K 3.6K 257
                                    

Di sisi lain, Salwa sedang menangis dalam posisi jongkok dan kedua tangan memeluk kaki yang terlipat.  Terbayang di ingatannya bagaimana Nabila menyatakan perasaannya.  Bahasa sayang yang diungkapkan Nabila, suara lembutnya dan kata-kata yang diucapkan pasti menyenangkan dan meneyejukkan hati Ayub.  Tapi itu justru menjadi senjata tajam yang melukai perasaan Salwa. 

Entah kenapa, perhatian Nabila membuatnya merasa tersakiti.  Dan ia baru sadar sepenuhnya, bahwa ia takut kehilangan Ayub.

Bagaimana jika posisinya sekarang digeser oleh Nabila?  Bagaimana jika Nabila meminta untuk dinikahi Ayub?  Dan bagaimana jika Ayub menyetujui permintaan Nabila?  Bukan mustahil ia akan dimadu dan berbagi suami dengan perempuan lain.  Baginya, itu adalah mimpi paling buruk.

Ah, tidak.  Ayub pasti tidak akan tega menyakiti hati perempuan.  Ayub kan baik hati. 

Tapi Salwa menggeleng cepat saat sadar bahwa apa yang dipikirkannya itu salah.  Islam tidak melarang laki-laki memiliki istri lebih dari satu.  Jika Ayub sudah bilang poligami tidak dilarang dalam Islam, dan Ayub akan menyebutkan dalil dan hadis yang membenarkannya, maka skak matt.  Salwa tidak punya alasan lain untuk membantah. 

Laki-laki mana yang tidak tertarik dengan Nabila?  Gadis cantik, berasal dari keluarga terhormat, puteri seorang ustadz.  Satu lagi, salihah.  Salwa tidak ingin dunianya direnggut perempuan lain.  Tapi bukan salah Ayub jika Ayub berpaling kepada perempuan lain.  Sebab sebagai suami, selama ini Ayub tidak pernah mendapat pelayanan yang baik dari seorang istri yang egois dan selalu merasa benar.  Istri yang sealu menang sendiri.  Yang tidak mau disalahkan.  Yang selalu minta dinomer satukan.  Ayub bahkan tidak bisa menyentuh istrinya sendiri.

Salwa menimpuk pelipisnya dengan kepalan tangannya sendiri.  Merasa betapa bodohnya dirinya selama ini.  Menikah dengan suami yang tampan, perhatian, akhlaknya baik, bahkan telah mengangkat derajatnya, namun justru dibalas dengan perlakuan buruk.

Dalam hitungan menit saja, Salwa merasa dunianya berubah seketika.  Berubah menakutkan.

Kembali terngiang tatapan Nabila yang penuh cinta kepada Ayub.  Setiap mengingat itu, ia merasa cemburu.  Tidak ada yang boleh memiliki Ayub selain dirinya.  Karena yang ia punya hanyalah Ayub seorang.  Tidak ada yang lain.  Haruskah satu-satunya orang yang ia miliki berpaling darinya?  Dan sekarang, ia merasa betapa Ayub sangat berarti dalam hidupnya.

“Ayub!  Aku sayang kamu,” lirihnya tanpa sadar.

Cahaya keemasan menyelusup masuk melalui jendela dan hangat menyentuh kulit.  Mata Ayub yang tersengat cahaya, spontan terbuka.  Ia menggeliat sebentar.  Sesaat ia heran kenapa sinar matahari bisa sampai ke mata.  Siapa yang membuka tirai jendela kamar?

Sekilas matanya menyapu sekitar.  Ah, tidak.  Ternyata ia tidak sedang berada di kamar.  Ia mendapati diri setengah berbaring di sofa ruang keluarga.  Lalu menoleh ke jendela.  Ada yang berbeda, semua tirai sudah dibuka. 

Ia baru ingat, semalam ia menghabiskan waktu di sofa hanya untuk duduk diam dan sesekali mengamati pintu kamar Salwa.  Berharap Salwa keluar dan ngambeknya hilang.  Tapi sampai larut malam ia menunggu, pintu kamar Salwa sama sekali tidak bergerak.  Hingga subuh menjemput, shalat pun ia lakukan di ruang tamu.  Sampai akhirnya ia tertidur pulas di sofa.

Ia tertegun heran saat merasakan sesuatu menyentuh kulitnya.  Selimut.  Bibirnya tersenyum.  Seingatnya, semalam ia tertidur di sana tanpa selimut.  Ia bangkit bangun dan melipat selimut.  Lalu meninggalkan sofa.  Buku bertali pita yang ia letakkan di depan pintu sudah tidak ada.  Semoga Salwa menyukai buku itu. 

Ia berjalan menuju dapur.  Lantai terlihat cliiing dan bersinar sampai ke dapur.  Hidungnya mencium aroma harum yang beraneka ragam, aroma yang menyejukkan.  Ia tersenyum bahagia saat membuka tudung saji di meja makan.  Sudah tersaji masakan.  

Walau tidak tahu apa rasanya, tapi ini jelas perubahan yang mengesankan.

Aroma wangi yang berbeda tercium dari arah luar pintu dapur.  Pandangannya mengikuti arah aroma.  Beberapa lembar pakaiannya yang semalam teronggok di bak sudut kamar sudah menggantung di jemuran belakang rumah.  Aroma pewangi pakaian menyebar sampai ke dalam rumah.

Pagi ini ia disambut bermacam aroma wangi, pewangi lantai, pewangi pakaian, juga aroma masakan.

Perempuan memang misterius.  Sulit dimengerti.  Salwa baru saja marah-marah, kemudian menangis pilu, lalu ngambek dan mengurung diri di kamar.  Dan sekarang?  Begitu bangun, Ayub menemukan keajaiban yang membuat bibirnya tidak lepas dari senyum.

Ayub memundurkan kepala saat melihat segelas teh hangat disodorkan ke depannya.  Ia menoleh kepada Salwa yang menyodorkan gelas.  Untuk beberapa saat ia terpana, terkesima menatap perempuan cantik berhijab putih yang mengenakan gamis indah.  Pemandangan yang sempurna.  Sungguh, Salwa sangat cantik mengenakan pakaian itu.

“Untukmu.”  Salwa meletakkan gelas ke meja dengan ekspresi kaku dan sikap yang dingin.

Ayub semakin tidak mengerti.  Salwa menyediakan air minum tapi ekspresinya tidak bersahabat, sulit ditebak. 

“Makasih.” Ayub tersenyum.

Salwa hanya sekilas menatap lalu memutar badan dan berlalu ke depan.  Meninggalkan Ayub yang terpaku.

Kemudian Ayub menyesap teh hangat.  Sangat manis.  Entah berapa sendok Salwa menuangkan gula ke dalamnya.  Ayub tersenyum sembari bergidik merasakan teh yang kemanisan.  Saat menoleh ke pintu antara dapur dan ruang tengah, sekilas sudut matanya menangkap pemandangan berbeda, terlihat ujung gamis berwarna putih di sebalik dinding. 

Salwa sedang bersembunyi di balik dinding?  Pikir Ayub.  Ia berjalan mendekati dinding itu.  Benar, Salwa berdiri di balik dinding.  Kedua tangannya menutup muka.  Menangis terisak.  Ayub semakin bingung dibuatnya.  Salwa menangis lagi. 

“Salwa…”  Ayub ragu menyentuh lengan tangan Salwa hingga membuat Salwa terkejut.  Kedua telapak tangan yang menutup mukanya terlepas hingga tampaklah wajah sembab yang dibanjiri air mata. 

“Sebenarnya ada apa?” dahi Ayub mengerut.  Perlahan-lahan tangan Ayub bergerak meraih bahu Salwa dan menariknya mendekat.  Belum sempat berkata-kata, tubuh Salwa sudah menubruknya, kedua lengan Salwa melingkari tubuhnya dan Salwa melepas tangis di dadanya.  Ayub mengerjap kaget.

Lagi, perasaan itu muncul lagi.  Getaran aneh yang mengalir ke seluruh organ tubuhnya.  Inikah yang dinamakan jatuh cinta?  Selalu ada getaran hebat setiap kali bersentuhan.  Ayub menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan seiring dengan ketegangan yang mengikat seluruh organ tubuhnya.

Lama Salwa memuaskan tangis di dada Ayub.  Tangan kanan Ayub mengelus ujung jilbab Salwa.  Sebisa mungkin untuk memberinya ketenangan.  Entah apa yang membuat Salwa bersikap aneh begini, yang jelas Ayub jadi ikutan cemas.

“Ayub, kamu jahat!” suara Salwa terbenam akibat mukanya yang tenggelam di dada Ayub.

“Jahat?  Aku jahat?  Jahat kenapa?  Apa masih masalah di rumah sakit kemarin?  Maaf kalau itu membuatmu merasa dipaksa, atau mungkin aku yang terkesan otoriter.”

Salwa diam sesaat.  Mencari ketenangan untuk bicara.

“Apa kamu mau ninggalin aku?”

Pertanyaan Salwa membuat Ayub mengernyitkan dahi dan alisnya terpaut.  Pertanyaan apa itu? 


Bersambung...

Instagram  :  emma_shu89

Pliis komen kalau mau lanjut, komen kalian menentukan cepet atau lambatnya update. Hihiii...

Jangan lupa nabung buat beli novel ini,ikutan open po sebelum novel beredar di toko buku. okeey?

By
Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang