39. Sedikit Lebih Tenang

64K 3.6K 207
                                    


"Kenapa malah senyum? Kamu nertawain nasibku yang buruk ini?" tanya Salwa.

Ayub diam. Ia senang melihat Salwa arogan karena terbakar cemburu.

"Kamu tau aku nggak punya pilihan lain kecuali hidup bersamamu. Dan nggak ada seorang pun yang kumiliki di dunia ini selain kamu. Haruskah satu-satunya orang yang kumiliki kubagi-bagi dengan perempuan lain?"

Hening.

Mereka bersitatap semakin dalam.

"Salwa, semua orang menginginkan kebahagiaan. Termasuk aku."

Kali ini wajah Salwa langsung muram. Ia sadar Ayub tidak bahagia bersamanya. Organ tubuhnya melemah. I di posisi tadi, tanpa terasa air mata Salwa jatuh menitik tepat di pipi Ayub yang ada di bawahnya.

"Ayub, kamu benar. Semua orang pasti pengen bahagia. Dan kalau kamu pengen mencari kebahagiaan dengan menikahi Nabila, mungkin itu juga benar. Tapi ada yang salah sama perasaanku, aku yang nggak terima kalo kamu nikah sama perempuan lain. Aku sayang sama kamu." Suara Salwa benar-benar terdengar lirih. Tangisnya pecah, punggungnya bergetar sesenggukan.

Kata-kata sayang yang terucap dari bibir Salwa membuat hati Ayub menjadi basah. Akhirnya pertanyaannya sejak tadi terjawab sudah. Sekarang pekerjaan Ayub benar-benar sempurna. Dan ketika Salwa terlihat sangat terluka atas sikapnya, akhirnya Ayub meraih punggung Salwa dan menekannya hingga kepala Salwa jatuh di dadanya, Ayub mengusap punggung Salwa penuh kasih sayang.

"Salwa, aku sama sekali nggak punya niat menikahi Nabila. Aku juga nggak pernah berniat untuk berpoligami, apa lagi ninggalin kamu."

Kata-kata Ayub membuat Salwa yang mukanya terbenam di dada Ayub langsung membuka mata lebar-lebar.

"Kamu ngomong apa tadi?" Salwa mengangkat kepalanya hingga menjauh dari dada Ayub.

"Aku nggak mencintai Nabila. Dan aku nggak akan menikahinya," ulang Ayub.

"Serius? Beneran kamu nggak akan menikah lagi?"

Ayub menggeleng. Namun gelengan kepalanya tidak membuat ekspresi Salwa berubah. Salwa masih curiga.

"Jangan berpikir macem-macem tentang hubunganku sama Nabila. Aku hanya menganggapnya sebatas teman, nggak lebih. Itulah sebabnya aku nggak mau pergi ke rumah sakit kalau bukan bersamamu."

Salwa menghela napas lega, puas mendengar jawaban itu. Mukanya yang tegang agak tenang.

"Aku pengen denger sekali lagi. Katakan, apa benar kamu nggak mau menikahi Nabila?"

Ayub mendorong bagian depan badan Salwa dengan badannya hingga mereka duduk berhadapan.

"Aku nggak akan menikahi Nabila." Ayub mempertegas.

Salwa menatap Ayub lamat-lamat, mencari kejujuran. Perlahan tatapan curiga itu menghilang.

Salwa bangkit berdiri. "Trus, kenapa tadi kamu bilang kamu mencintai Nabila?"

Ayub ikut berdiri. Membalikkan badan dan berjalan mendekati meja. Kedua telapak tangannya menopang di meja. "Ngetes doang. Jika melaluimu kebahagiaan itu kudapatkan, kenapa aku harus mencari kebahagiaan di tempat lain?" ucap Ayub dengan pandangan ke meja.

Salwa menghambur dan melingkarkan tangan di perut Ayub dari belakang. "Aku ingin kita tetap begini sampe kakek-nenek."

Kalimat itu, terasa menyejukkan hati, membuat Ayub tersenyum. Ia menoleh ke samping dan pandangannya hanya dapat menjangkau sebelah bahu Salwa.

"O ya, aku udah masak, loh. Kita cobain bareng-bareng, yuk!" Salwa berputar dan berdiri di samping Ayub.

Ayub membungkukkan badan mengambil pakaian Salwa yang teronggok di lantai lalu memakaikannya di tubuh Salwa. Salwa tertawa cekikikan dan menarik tangan Ayub ke dapur. Ia menarik kursi dan menyuruh Ayub duduk.

Seperti diremot, Ayub terhempas duduk di kursi yang ditarik.

Salwa membuka tudung saji.  Lalu duduk di sisi Ayub.  Ia mengambil dua piring.  Menyiduk nasi ke piring, membubuhinya dengan telur sambal dan mendorong piring sampai di depan Ayub. 

“Eiiits… harus mau makan sayur!” ujarnya ketika mengambilkan sayur ke piring Ayub.

Ayub merasa senang melihat Salwa ceria begini. 

“Tunggu!” pekik Salwa saat garpu di sendok Ayub menusuk telur rebus yang dipoles sambal merah.

Dahi Ayub mengernyit.

Salwa mengiris telur dan menyertakan nasi ke sendoknya. Lalu mengarahkan sendok ke mulut Ayub.  “Aaaaa’....”

Agak bingung, Ayub melahapnya.

“Gimana?  Masih keasinan lagi?” tanya Salwa.

Masih terus mengunyah, Ayub berpikir.  Lumayan.  Kali ini masakan Salwa cukup enak. 

“Enak enak,” jawab Ayub seraya menunjukkan ekspresi wah, kayak orang sedang mencicipi masakan koki gitu, deh.

Salwa tertawa lebar.  “Ya, dong.  Kan tadi udah kucicipi sewaktu masak.  Tapi jangan protes ya kalo rasanya kurang nyaman di lidah.  Aku kan lagi belajar.  Ya udah, sini biar kusuapin.  Kalo disuapin, pasti rasanya yang rada kacau akan jadi lezat.”  Salwa kembali menyendok nasi, menyuapkannya lagi ke mulut Ayub.

Ayub membalas sesuap nasi yang masuk ke mulutnya dengan menyuapi Salwa.  Ia tersenyum saat sendok di tangannya menjulur ke mulut Salwa.

Benar juga apa kata Salwa, masakan yang rasanya biasa saja, menjadi sangat lezat akibat saling menyuap.  Satu kelebihan dari makan sepiring berdua, tidak perlu mencuci banyak piring.  Irit.

"Ayub!"

"Hm?" Ayub menoleh ke wajah Salwa.

"Aku mau nanya."

"Ya udah nanya aja."

"Kenapa kamu gampang banget nikahin aku? Apa kamu gak berpikir gimana kalo akunya ini pergaulannya bebas?"

"Itu dulu.  Setelah nikah sama aku, akan kubuat nggak bebas lagi."

"Trus kalo yang udah keterlanjuran gimana?" Salwa menatap serius.

"Maksudnya?"

"Terlanjur lepas," bisik Salwa.

Ayub mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Gimana kalo kamu nggak ngedapetin keperawananku?  Gimana kalo keperawananku udah lepas duluan diambil mantan pacarku?  Kamu nggak takut itu?" Salwa meninggikan alis sambil tersenyum. 

Apa-apaan Salwa?  Perempuan itu sedang menggodanya atau sedang balas dendam atas keisengannya tadi?

"O ya?  Menikah itu kan bukan buat nyari keperawanan," jawab Ayub ringan.

"Serius?  Artinya kamu nggak protes kalo nggak dapet keperawananku kan?"

Kali ini Ayub merasa tertekan dengan pertanyaan itu.

"Kalo memang bener begitu, aku kan bisa cari perawan lain."

"Mulai deh."  Salwa tertawa dan memukul ringan lengan Ayub.  "Apa kamu nggak mau tau soal itu?  Kamu kan bisa buktiin sendiri, sekarang bila perlu." Salwa mengayunkan alis dan menatap mata Ayub dalam-dalam, membuat Ayub segera mengalihkan pandangan.  Mendadak saja ia menjadi grogi mendapat tatapan menyala seperti itu.

"Ayub!" Salwa mengguncang lengan Ayub berusaha mengembalikan perhatian Ayub.

Ayub meraih sendok.  "Udah.  Makan dulu."

Salwa menyerah mendengar perintah itu.

***

Bersambung...

Instagram  :  emma_shu89

Komen pliis..  Semakin banyak komen semakin ngeburu nulisnya biar cepetan gitu ya.. Hoho..
Thanks buat reader nd komentator yg gk bisa kusebutin satu satu. Love you all

By
Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now