42. Berbohong

64K 3.4K 180
                                    


Beberapa kali Ayub usul mencari pembantu agar Salwa tidak kelelahan mengurus rumah.  Tapi Salwa menolak.  Alasannya, bosan jika hanya berdiam diri di rumah tanpa kegiatan.  Meski begitu, Ayub sering membawa makanan dari luar ketika pulang kerja.  Terkadang ia juga mengajak Salwa makan di luar.  Dengan begitu, ia berharap pekerjaan Salwa akan lebih ringan. Dan satu lagi, Ayub tidak pernah lagi menemukan onggokan pakaian kotor di sudut kamar mandi.   

Ayub tidak bosan menegur dengan lembut jika Salwa keliru, mengingatkan kewajiban jika Salwa lalai.  Perempuan adalah penghuni neraka terbanyak, persis seperti dalam mimpi Salwa.  Dikarenakan perempuan banyak yang durhaka pada suami.  Ayub tidak ingin itu terjadi pada istrinya.

Sebagaimana Rosulullah bersabda, Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud pada suaminya disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami di atas mereka (para istri). 

Salwa rajin mendengarkan tausiah melalui internet di laptop.  Ilmu yang didengarnya seakan menjadi candu sehingga ia terus menggali karena timbul berbagai pertanyaan setelah mendengar, membaca dan menonton.  Begitu besar pengaruh membaca, hanya dengan duduk di depan laptop, wawasan seluas dunia. 

Pernah, suatu hari Ayub duduk di meja kerja, mengerjakan tugas kantor, tenggorokannya terasa kering, tapi ia tidak memerintah Salwa mengambilkan air minum.  Ia lebih suka melayani dirinya sendiri tanpa merepotkan istri.  Jika saja ia bertukar jiwa dengan Salwa, melakukan pekerjaan yang setiap hari tidak pernah putus, mungkin ia tidak akan sanggup.  Oleh sebab itu ia sering kali menyingsingkan lengan baju untuk membantu jika ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. 
  
Petunjuk Rosul yang mengatakan bahwa istri harus taat pada suami bukan berarti disalah gunakan suami untuk menuntut selalu dihormati, disegani dan dituruti tanpa memenuhi hak istri.  Ayub tidak akan berlindung dibalik kata-kata bahwa istri harus taat pada suami hanya demi mendapat kenyamanan agar bisa duduk manis. 

Petunjuk Rosul bukanlah dalih agar suami berkuasa atas seorang istri.  Semakin baik ia memperlakukan istri, maka semakin mulia dirinya di hadapan Allah.  Semata-mata hanya itulah yang ia harapkan.

Malam ini, Ayub menjadi suami paling bahagia.  Bagaimana tidak?  Di kamar yang ukurannya tidak luas itu, Salwa bersedia diajak shalat isya. 

Usai salam, Ayub menoleh.  Salwa menengadah, menatapnya.  Lalu Salwa maju, meraih tangan Ayub yang menjulur dan menciumnya. 

Salwa tampak cantik mengenakan mukena.  Wajahnya yang putih bersinar.  Memantulkan cahaya, membuat perasaan aneh dalam diri Ayub semakin menggelora, jiwanya dingin dan tentram.  Seketika ia mengucap hamdallah berkali-kali dalam hati. 

Beberapa menit sebelum adzan isya, Ayub menyelipkan kertas ke bawah pintu kamar Salwa yang telah tertulis sebuah kalimat,

Kita shalat isya yuk!
Jadilah makmumku
Kutunggu!

Sesaat kemudian, ketika adzan telah berkumandang dan Ayub berdiri di atas sajadah mengenakan sorban di kepala, Salwa muncul memasuki kamar mengenakan mukena.  Lalu menggelar sajadah di belakangnya. 

“Sorry, telat!  Hehee…” celetuk Salwa.

Ayub menoleh, menatap wajah Salwa.  Wajah itu bercahaya dan berseri-seri.  Sekilas Salwa tersenyum lebar.  Lalu menunduk. 

Air mata Ayub hampir menitik melihat Salwa berdiri di belakang sebagai makmum.  Bahagia.  Rasanya ingin memeluk karena itulah pertama kalinya ia menjadi imam istrinya dalam shalat. 

Dengan begini, ia berharap rumahnya akan menampilkan pemandangan surga. Maghfiro Tuhan akan melimpahi rumah tangganya.  Dan dengan ijin Tuhan, semoga ia dan Salwa akan bersama-sama menjadi isi surga. 

Setelah menyalami Ayub, Salwa masih duduk di atas sajadah.  Tetap menunduk sambil sesekali membolak-balikkan ujung mukena yang dihias dengan renda.  Ayub pun masih menghadap ke arahnya, seperti tak ingin berbalik lagi.  Ayub ingin terus menatapnya.  Berharap keadaan itu tidak akan berlalu. 

Setelah agak lama terdiam, akhirnya Ayub berkata, “Bersiaplah, kita akan ke rumah Nabila.  Temen-temen satu alumni ngadain acara perayaan kelulusan kuliah di sana.”

Salwa mengerutkan hidung.  Menggaruk pelipis.  “Mm...  Aha... Aku lagi nggak mood.  Aku nggak ikut.  Pergilah sendiri sana!” jawabnya nyengir.  “Itu kan acara kalian, acara orang-orang yang lulus dari bangku kuliah.  Aku bukan bagian dari kalian.  Iya, kan?  Iya, kan?” ujarnya sembari mengayunkan kepala ke samping kiri dan ke kanan.

“Kamu memang bukan bagian dari mereka, tapi bagian dariku, kamu adalah istriku.  Boleh kok bawa pasangan masing-masing.  Acara ini terbuka.”

Salwa menatap Ayub serius.  “Tapi Nabila bakalan tahu kalo aku ini istrimu.”  Matanya melebar.

Ayub tertegun.  Bahkan ia melupakan hal itu.  Melihat Salwa mengenakan mukena, ia seperti kehilangan akal, lupa dengan apa yang terjadi pada Nabila.

“Dia bakalan terluka kalo tau kamu udah nikah,” lanjut Salwa.  “Semangat hidupnya bisa aja hilang.  Bukannya dia butuh motivasi hidup?  Dan motivasi itu ada dalam dirimu.”

“Sejak kapan kamu memikirkan kondisi Nabila?” tanya Ayub tak yakin.  Setelah dulu Salwa cemburu hebat terhadap Nabila, sekarang malah berbalik memikirkan nasib Nabila.

“Nggak tau,” jawab Salwa ringan sambil mengedikkan bahu.

“Tapi aku nggak mencintai Nabila.  Gimana caranya aku bisa kasih motivasi hidup padanya?  Aku takut dia akan salah paham.”

Salwa mengangkat kedua alis.  “Yang bener?  Gimana mungkin gadis secantik dan sesalihah dia nggak punya tempat di hatimu?  Dia juga berasal dari keluarga terpandang, Semua laki-laki pasti menginginkannya.”

Perkataan apa itu?  Ayub tertegun.  Kalimat yang dulu menjadi senjata untuk melumpuhkan hati Salwa, sekarang malah berbalik menembak jantungnya.  Jadi sampai sekarang Salwa masih tidak yakin bahwa Ayub tidak memiliki perasaan cinta terhadap Nabila?  Lalu harus menggunakan kalimat apa untuk meyakinkannya?  Ayub mengusap wajah.

“Kita udah pernah bahas soal ini.” 

“Aku cuma sedang merasa egois.  Selama ini nyia-nyiain kamu, tapi aku juga ngelarang kamu memilih kebahagiaan.   Aku nyesel banget sempet ngebuat kamu kayak hidup dalam neraka.  Setiap hari ngeliat istri bertampang jutek, sadis dan kerjanya marah-marah mulu.  Aku cuma pengen menebus kesalahanku.”

“Dengan cara itu?  Salwa, siapa bilang aku akan bahagia bila bersama Nabila?  Ya udahlah, aku nggak mau kita membahas soal ini.  Jadi.... Kamu nggak takut kalo aku deket sama Nabila?" Ayub mulai menggoda.

Salwa menatap ragu.  Ia sendiri bingung pada perasaannya. Ingin membuat Ayub bahagia, tapi juga tidak rela jika Ayub mencintai perempuan lain.

"Inget Salwa, kamu belum tahu seperti apa lelaki yang sebenernya.  Apa perlu Nabila yang duluan tahu tentang perjakaku,  hm?" Ayub mulai memberanikan memancing dengan godaan ringan.

Salwa malah tersenyum.  Ia suka cara Ayub mulai bicara terbuka.

"Aku akan bertemu dengan Nabila di atas ranjang, dan kami akan bercinta.  Nabila akan ngerasain sesuatu yang belum pernah kamu rasain.  Kamu rela itu?"

"Ayub!"   Salwa menepuk lengan Ayub cukup kuat, membuat Ayub terkekeh.  "Kenapa malah kamu yang jadi nakut-nakutin aku sih?"

"Kamu yang mulai."

"Aku yang akan maksa kamu nidurin aku duluan sebelum dia.  Aku bolehin kamu deket sama Nabila bukan berarti bolehin dia milikin kamu seutuhnya.  Kamu cuma milik aku."

Ayub tersenyum.  Menang lagi.


(Bersambung….)

IG @emma_shu89

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now