27. Goresan

63.7K 4K 120
                                    

Ayub sangat mengenal tulisan itu, tak lain tulisan tangan Harun.
Ayub membaca kata demi kata yang tertera di sana.

Tanggal satu September adalah tanggal yang sangat berarti bagiku.  Tertulis sejarah yang tidak akan mungkin kulupakan.  Aku bertemu gadis yang sangat cantik menawan.  Dadaku berdebar-debar saat pertama kali melihatnya.  Aku baru sadar, ternyata aku jatuh cinta. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku.  Dialah Salwa, gadis yang pertama kulihat ketika aku melintas di depan rumah Abah Rasyid.  Dia sungguh cantik, saat itu menggunakan seragam putih abu-abu.  Rambutnya panjang, sungguh dia sangat memikat hati.  Dengan penuh rasa percaya diri, aku mendekatinya, mengajaknya berbincang dan berkenalan.  Meski hanya sesaat karena ia menghindar dan segera menemui Abahnya.  Waktu terasa begitu cepat  berlalu.  Bila saja aku mampu memutar waktu, maka aku akan mengulangi kejadian itu dan membuatnya menjadi lebih berarti. 

Tanggal Satu Oktober, tanggal yang sangat Menyayat hatiku.  Abahnya meninggal dunia, aku ikut menangis melihatnya menangis di dadaku.  Dalam tangis yang mengiris hati, ada kebahagiaan mendalam melihatnya meminjam dadaku untuk bersandar.  Ada gejolak yang mendidih dalam dadaku.  Jika gadis itu dalam keadaan normal, pasti ia dapat merasakan detak jantungku yang begitu hebat menggedor-gedor dadaku.  Tanganku meraih rambut indahnya dan mengelusnya.  Sungguh, aku bahagia.  Aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan kala itu.  Aku ingin berteriak, mengungkap apa yang kurasakan.  Tapi tidak adil rasanya jika aku mengungkap kebahagiaan disaat gadis itu dalam keadaan berduka.

Tak lama kemudian, terjadi sesuatu yang sangat menyedihkan.  Jika ada kiamat sugra yang sangat dahsyat terjadi di permukaan alam, maka aku telah merasakannya.  Hatiku hancur.  Porak poranda.  Luluh lantak tanpa bersisa.  Serpihan hatiku bagai tak dapat menyatu kembali.  Habis sudah harapanku, gadis yang sangat kucintai menikah dengan sahabatku sendiri.  Betapa perihnya hatiku melihat gadis yang kucintai mencium tangan laki-laki lain dalam akad nikah. Usahaku mencegah pernikahan itu tidak berhasil.  Penyesalan memang datangnya selalu belakangan.  Aku menyesal, seharusnya aku yang pasang badan, menjadi pahlawan dan menikahi Salwa sebelum Ayub melakukannya.  Tapi entahlah, kenapa saat itu aku begitu bodoh dan tulalit.  Tak terlintas sedikitpun di otakku untuk melakukannya.  Nasi telah menjadi bubur.  Kini gadis yang kucintai telah jatuh ke pelukan sahabatku sendiri.  Hatiku sakit, sakit sekali.  Aku tak mampu membendungnya.  Aku ingin mencurahkan rasa sakit ini agar beban di dada berkurang.  Tapi pada siapa aku mengadu?  Tidak ada orang yang bisa aku percaya.  Maka karton inilah yang menjadi tempat curahan hati.

Ayub memejamkan mata sebentar.  Menarik napas dalam-dalam untuk meredam rasa panas yang menggejolak dalam dada.  Ah, nyeri sekali batinnya membaca goresan itu.

Pantas saja, Harun tidak menyetujui pernikahannya dengan Salwa.  Dengan berbagai alasan Harun berkeras membujuk agar ia tidak menikahi Salwa.  Dan ternyata inilah penyebabnya. 

Pantas saja, Harun tidak berkenan menyaksikan akad nikahnya, Harun berlalu pergi dan menghilang begitu saja sebelum acara benar-benar selesai.  Harun bahkan tidak sempat bersalam-salaman di akhir acara.  Satu lagi, sikap Harun akhir-akhir ini terlihat berubah.  Lebih dingin dan seperti orang asing.

Lalu bagaimana dengan kejadian kemarin, ketika Harun datang ke rumah dan hanya Salwa yang ada di rumah?  Mereka muncul dari dapur bersamaan.  Apa itu kebetulan?  Atau…? 

Jika memang ini fitnah, apa alasan Nur memfitnah Harun?  Apakah gadis seperti Nur sanggup melakukan fitnah?  Dia adalah perempuan salihah yang telah lama dikenal Ayub.

Ayub menoleh ketika Harun memasuki kamar.  Harun mendekati Ayub dengan menyeret langkah kaki hingga menimbulkan suara berisik.  Ekspresinya gelisah setelah sebelumnya melirik karton yang ada di tangan Ayub.

Ayub langsung menunjukkan gambar itu tanpa berbasa-basi, lalu membalikkan kertasnya hingga tampak tulisan yang merupakan curahan hati Harun.

“Apa ini?” tanya Ayub kemudian meletakkan kertas itu ke meja.

Wajah Harun langsung memucat.  Gugup.

"Apa ini?"

Harun masih diam.

"Jawab! Apa ini?" gertak Ayub.

"Itu... Aku...  Anu... " Harun bingung.

“Terjawab sudah semuanya.”  Gigi Ayub gemeletukan.  Ingatannya melayang pada pengakuan Nur yang bilang bahwa Harun berciuman dengan Salwa di belakang rumah.  Kehormatan istrinya tentu saja kehormatannya juga.   Bagaimana mungkin ia membiarkan laki-laki lain menodai pernikahannya?

“Kamu mencintai Salwa dan kamu nggak rela dia jadi milikku.  Lantas ini yang kamu lakukan di belakangku?” gertak Ayub dengan muka merah padam.

“Ayub, ini nggak seperti yang kamu duga.  Aku dan Salwa nggak ada hubungan apa-apa.”

“Setelah kubaca goresan di kertas itu, apa kamu masih mengelak?  Kamu cinta sama Salwa, kan?”

Harun menundukkan wajah.  Kemudian lirih berkata, “Ya, Ayub.  Memang benar aku mencintai Salwa.  Aku memang sangat mencintainya, tapi aku tau batasannya.  Aku tau diri untuk menempatkan perasaanku.  Cinta itu adalah masa lalu, itu dulu.  Sampai detik ini aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan itu.  Aku kecewa memang benar, aku sedih memang benar, aku terluka juga benar.  Tapi aku bukan tipe orang yang bisa frustasi hanya karena masalah cinta, sampai-sampai aku rela jadi selingkuhan demi memenuhi rasa cinta pada Salwa.  Aku bersedia datang ke rumahmu untuk memberi kabar tentang kondisi Abah yang sakit karena aku ingin memperbaiki perasaanku yang selama ini memasang jarak terhadapmu.  Supaya semua kembali normal.  Masih banyak yang harus kulalui, bukan hanya soal cinta aja.  Bagaimana mungkin aku sampai harus menodai pernikahan sahabatku sendiri dengan cara keji?  Itu bukan sifatku, Ayub.  Kamu pasti kenal aku.”

Inilah Harun.  Pintar bicara.  Dia kan wakil ketua senat.  Sering berpidato.  Juga sering memimpin rapat.  Ide dan solusi bisa saja datang di kepalanya meski disaat-saat mendesak.

“Lalu kenapa subuh tadi kamu harus pulang lebih awal dari masjid tanpa menunggu kami?  Kamu melupakan kebiasaan yang selama ini selalu kita lakukan.”

“What?  Ini artinya kamu curiga aku pulang duluan demi mencuri waktu bersama Salwa, begitu?  Ayub, ayolah.  Jangan termakan omongan Nur dan Mak Tomasling.” 

Ayub tidak menjawab.  Kekesalan yang membekap batinnya membuatnya lebih memilih diam.

“Aku buru-buru pulang untuk buang air, sebab kamar kecil di masjid penuh, yang lain kerannya rusak.  Aku lupa Salwa ada di rumah sendirian saking kebelet buang air.  Jika aku ingat Salwa ada di rumah, nggak mungkin aku pulang.  Tolong jangan curigai aku.  Percayalah, Ayub.”  Harun berusaha meyakinkan dengan mimik wajah memelas.

“Memang selalu ada alasan untuk menyangkal kesalahan.”  Ayub berjalan mendekati lemari.  Menarik koper yang teronggok di atasnya.  Menurnkannya.  Membuka lemari dan menurunkan beberapa pakaian Harun dari lemari ke dalam koper.  “Segera kemas pakaianmu dan pergilah dari sini,” perintahnya.

Harun terdiam seribu bahasa.  Tidak dapat berkata-kata lagi.  Tidak membantah.  Tidak membela diri.  Ia melongo saja melihat sebagian pakaiannya sudah berpindah tempat.

“Aku nggak mau terjadi hal buruk lagi jika suatu saat nanti aku pulang kesini bersama Salwa.  Lebih baik kamu tinggalin kehidupan kami.”   

Ayub menelan.  Kesucian istrinya adalah segala-galanya.  Tak akan ia biarkan seorangpun menodainya.  Nyawa sekalipun akan ia pertaruhkan jika itu yang harus ia lakukan demi kesucian pernikahannya.  Soal akhlak Salwa, biarlah itu menjadi tugasnya. 

(Bersambung…)

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now