22. Surat

66.8K 4.1K 118
                                    

Ayub sadar bahwa Salwa memiliki sifat yang kasar.  Meski begitu, ia percaya ada banyak hal lain yang bisa ia sukai dari diri Salwa.  Mungkin kecantikan Salwa, atau tindakan Salwa yang selalu menuruti meski dengan sikap tidak menyenangkan, dan mungkin masih banyak lainnya yang perlu Ayub selami lagi.  Ia tidak ingin menuntut banyak hal dari istrinya, karena ia merasa masih memiliki banyak kekurangan sebagai seorang suami.  Ia hanya perlu menunjukkan, mengajarkan, dan membimbing istri dengan cara yang baik.  Itu saja.

Ayub mengetuk pintu kamar perlahan-lahan.  Tak ada respon.  Lalu ia memutar knop pintu.  Ternyata dikunci.

“Salwa, buka pintunya,” seru Ayub setengah berteriak.

Sepi.  Tak ada jawaban.

“Salwa, maaf kalau aku menyinggungmu.  Aku nggak bermaksud begitu.  Apapun yang kukatakan demi kebaikanmu, agar istriku mendapat syafaat Rosul di hari akhir nanti.  Karena jilbab yang kamu kenakan akan membuat Rosul mengenalimu.  Allah memerintahku untuk menjagamu dari api neraka.  Itulah yang membuatku secerewet ini.”

“Stoooop!  Jangan ngoceh lagi.  Aku udah nurutin, tapi salah terus dimatamu,” teriak Salwa dari dalam.  Suaranya parau.  “Aku muak.  Kau benar-benar menjijikkan.”

Grompang  grompang....

Terkejut, Ayub menjauh dari pintu mendengar suara hantaman keras dari dalam mengenai pintu dimana telinganya tengah menempel.

Suara riuh semakin menjadi-jadi, benda-benda melayang dan menghantam pintu.  Salwa melempari semua barang yang ada di dekatnya ke pintu.  Terdengar mengerikan, lebih ribut dari amukan badai.

Ayub takut lampu tidur di atas nakas yang dilempar, atau ponsel, atau benda-benda berharga lainnya.  Sebab akan butuh uang lumayan banyak untuk menggantinya, sementara gajinya belum seberapa.

“Bukankah aku udah bilang, kamu nggak salah.  Kamu hanya perlu mengikuti ajaran yang benar.  Itu aja,” bujuk Ayub.

“Repot banget jadi istrimu.  Semuanya kau cela.  Semuanya salah dan perlu diperbaiki.  Aku bukan budakmu.  Kamu nggak pantes mencacat dan mengatur caraku menikmati hidup.  Apa kamu pikir dengan mencelaku lantas kamu terlihat sebagai lelaki berakhlak mulia di mata Tuhan?  Apa kamu pikir kamu itu Rosul?  Dengan bangganya kau menceramahiku.  Mengaku berdakwah.  Jangan terlalu naif, munafik, dan selalu merasa diri paling suci.  Kau itu terlalu sombong, Ayub.  Lebih sombong dari iblis.”  Suaranya terdengar gemetar disela napas terengah-engah.

Kembali Ayub mengucap istighfar.  Memohon kesabaran.  Iblis?  Apa ia terlihat seperti iblis?  Apakah iblis selalu sibuk mengajak pada kebaikan?  Ya Tuhan, Ayub menggelengkan kepala membuang pemikiran konyol itu.  Kenapa ia harus memikirkan kata-kata Salwa?

“Salwa, suatu saat nanti kamu akan tau bahwa ini bukan demi kebaikanku.  Apa lagi yang harus kukatakan?”  Ayub benar-benar telah kehabisan kata-kata.  Ia memijit pelipis dengan dua jari.  Agak pening.  Bisa stroke lama-lama kalau kayak gini.  Untung saja imannya masih kuat.  “Ayolah, keluar.  Kita akan terlambat.  Keluarga Nabila pasti udah lama nungguin.  Aku udah menyetujui ajakan mereka.  Nggak baik kalo diingkari.”

Sepi. 

Setelah lama menunggu, akhirnya secarik kertas keluar dari celah bawah pintu.  Ayub memungut dan membaca tulisan di kertas itu.

Aku nggak mau bicara lagi.
Capek. 

Ayub mempertahankan kesabaran agar tidak goyah.  Ia mengetuk pintu, mudah-mudahan kali ini di dalam kamar tidak terjadi badai lagi.  Bisa jantungan jika Salwa melempar kursi ke pintu.

“Salwa, keluarlah.  Kita cari jalan terbaik,” bujuk Ayub lebih lembut. 

Secarik kertas keluar lagi dari celah bawah pintu.  Ayub membaca.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now