Bab 12| Senyum Simpul.

1.5K 106 14
                                    

   Terik matahari siang ini membuat Gadis berjilbab itu mengusapkan jilbab putihnya pada wajah lemahnya. Ia menuruni tangga dengan senyum ramah pada teman-teman yang Ia jumpai, namun.. Matanya kini terfokus pada Pria berseragam orange. Astagfirullah! Serunya dalam hati.
   Tanpa Ia sadari, Pria yang tadi berhasil merebut pandangan tawaduknya menoleh melihat keberadaan gadis berjilbab yang berada didepan mading.
Pria itu berjalan menuju arah gadis berjilbab dengan tatapan tajam, tanpa senyum, dan menunjukkan kepedihan luka yang dideritanya. Gadis itu menyapanya dengan senyum ramah, tapi yang disapa hanya diam dan mengacuh.

"Maafin aku Fi." Kata Yaya lirih saat sosok yang tadi disapaanya hilang dari pandangannya.

Yaya kembali berjalan menuju Ruang Kepala Sekolah dengan senyum sederhananya. Ia mengetuk pintu beberapa kali hingga mendapati suara yang memperbolehkannya masuk.

"Permisi Bu, maaf saya menganggu." Kata Yaya yang kini sudah duduk berhadapan dengan Bu Ruqoyah.

Bu Ruqoyah tersenyum dan mengangguk pelan. "Ada apa Ya?" Tanyanya. Yaya sedikit bingung mengatakan maksud kehadirannya ke ruangan Kepala Sekolah.

"Begini Bu, sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah bapak ibu guru beri pada saya," Ira membasahi bibirnya yang terasa kering.

"Saya ingin meminta izin pada Ibu, bahwa saya akan pindah sekolah." Yaya menghembuskan nafasnya panjang, seperti tak ingin mengucapkan apa yang baru saja didengar Bu Ruqoyah.

Bu Ruqoyah sedikit tergelak. "Kenapa Ya? Apa kamu ada masalah dengan teman-teman kamu?" Tanya Bu Ruqoyah.

Yaya menggeleng cepat. "Engga Bu, hanya saja Saya mau masuk pesantren." Jawab Yaya dengan senyum sederhananya.

"Oh begitu, Yasudah Saya akan mengurus semuanya tapi setelah orangtua kamu datang menemui Saya." Ucap Bu Ruqoyah mendapat anggukan dari Yaya.

"Makasih ya, Bu? Kalo begitu Saya kembali ke kelas, Wassalamualaikum." Yaya mencium tangan punggung Bu Ruqoyah lalu pergi dengan salamnya.

***

   Ira masih diam memikirkan semua perkataan teman-temannya beberapa hari kemarin, masalahnya Ira tidak akan peduli jika yang bicara dua atau tiga orang terlebih Zahra yang dikenalnya tidak pernah berbohong pun mengatakan hal yang sama dengan teman yang lainnya.
   Rafi mengibaskan tanganya ke depan wajah adiknya yang sadari tadi melamun, Rafi mengeleng lalu menyubit pipi Ira kesal.

"Aawwww, sakit bego!" Umpat Ira seraya meninju lengan Rafi kesal. Rafi mengerucutkan bibirnya ikut kesal.

"Kamu ngapain ngelamun siang-siang gini huh?!" Selidik Rafi, Ira menunjukkan wajah lesunya. 

  Rafi mematikan mesin mobilnya dan membiarkan dirinya hanyut dalam suasan bimbang bersama sang adik perempuannya. "Ceritain gih." Rayu Rafi mengelus puncak kepala milik Ira.

Ira menarik nafasnya panjang lalu tersenyum ragu pada Rafi.

"Kakak, gaboleh emosi ya?" Ucap Ira tenang, Ia sangat mengenal Rafi bagaimana sikapnya jika seseorang yang disayang menjadi buah bibir dan pandangan buruk dimata publik.

   Rafi mengangguk, Ia memberikan jari kelingkingnya pada Ira sebagai bukti janji bawa dirinya tak akan emosi setelah mengetahui hal yang membuat gangguan pada pikiran adiknya.

"Jadi kamu percaya gitu aja?" Ucap Rafi setelah mendengarkan semua cerita dari Ira.

Ira dapat melihat dari sorot mata Rafi, bahwa ada kekesalan saat adiknya meragukan Papanya sendiri namun kali ini Rafi sabar dan membiarkan Ira menghabiskan ceritanya.

Mengejar Cinta IllahiWhere stories live. Discover now