Bab 22| Kuat ku (1)

1.3K 90 10
                                    


"Nih minum dulu," kata ku seraya menyerahkan dua gelas susu pada mereka.

"Makasih, kak."
"Thanks, Ra."

Kata mereka bersamaan. Aku mengangguk.

"Fahmi nanti malam mau makan apa?" Tanyaku

Dia terlihat berpikir sejenak. "Terserah aja. Kak? Kapan kita pulang? Fahmi kangen Mama." Ucapnya suda menahan tangis.

Aku diam. Bukan hanya kamu yang merindukan Mama, Aku pun sama. Seandainya Kak Rafi tidak memintaku melakukan ini, aku pasti sudah bersujud meminta ampun pada Mama. Tapi nasi telah menjadi bubur. Aku terlanjur setuju dengan rencana gila ini.

Ku lirik Kaka Rafi yang memasang muka muak. Mungkin, dia terlalu kecewa dengan Mama. Hingga membuatnya enggan memikirkan hal itu. Tapi kekecewaannya bukan tanda ia membenci Mama. Itu justru membuat dia lebih mencintai Mama.

"Kamu kangen?" Tanya Kak Rafi diangguki Fahmi. Dan entah kenapa aku ikut mengangguk.

"Lah? Ngapa lu ngikut?" Dia terkekeh.

"Lagi pula ini udah tiga hari lho, kak. Kasian Mama." Ingatku pada nya.

Kak Rafi merogoh kantong sakunya lalu memberika benda canggih berbentuk persegi panjang padaku.

"Nih, telpon Mama. Kasih tau kalau kita baik-baik aja. Jangan bilang posisi kita."

Aku hanya bisa mengangguk. Begitu pula dengan Fahmi. Si kecil yang mulai mengerti keretakan keluarganya. Itu semua karena Kak Rafi memancing pemikiran Fahmi. Aku tidak tau apa tujuannya, sudah sering aku memarahi Kak Rafi karena tega membuat Fahmi memikiran hal itu. Namun ia tidak menghiraukan marahku.

"Buruan dong kak!" Fahmi mengoyangkan tubuhku.

Aku mencari nama Mama dalam kontak Kak Rafi. Setelah itu ku tekan tombol hubungi. Sudah menyambung.

"Rafi? Kamu dimana?!" Suara setengah menjerit dari sebrang membuat ku refleks mejauhkan dari telinga ku.

Suara familiar. Tapi bukan Mama. Jantungku berdetak kencang, mungkin sebagian kecil hati ku masih menyayangi nya.

"Rafi?! Kamu dengar papa nggak sih? Cepat pulang. Jangan durhaka kamu. Ka..."

Aku memotong ucapannya dengan cepat. "Mama mana?" Tanyaku dengan suara terdengar malas.

Hening.

Mungkin dia shock? I dont care.

"Rara? Papa kangen kamu, nak! Cepat pulang sayang. Mama mu sakit."

Mata membulat sempurna. Mama sakit? Bagaimana bisa?

"Sa... sakit? Kok bisa?" Tanyaku tegang.

Kak Rafi yang melihat ku cemas setelah mendengar kata sakit pun menanyakan dengan kode alis nya. Begitu juga Fahmi yang berbisik 'siapa yang sakit'

"Jawabannya hanya akan kamu dapat kalau kamu pulang. Mama di rawat di Rumah Sakit Kasih Permata, kalau kamu peduli kamu pasti datang." Aku mengigit bibir bawahku takut.

"Ruang apa?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Nanti papa kirim pewat pm."

"Iya. Assalamualaikum."

Tut. Tutt. Tuttt.

Setelah sambungan terputus aku segera memberi tahu pada Kak Rafi. Ia setuju akan pulang. Aku mengucapkan hamdalah. Bagaimana pun, kekecewaan itu tidak boleh menjadi penghalang untuk menjadikan kita berbakti.

"Ngebut aja, kak." Fahmi bersuara.

Kali ini aku memberi jempol pada Fahmi, ia berusaha menghilangkan rasa takutnya dengan kelajuan cepat. Semua demi Mama. Hanya karena Mama. Karena Fahmi begitu menyayangi Mama.

Mengejar Cinta IllahiWhere stories live. Discover now