t h r E E

5.4K 404 31
                                    

"Cara."

Reyes mengetuk pintu rumah Cara beberapa kali sembari memanggil nama gadis itu. Namun, Tidak ada sahutan dari dalam sana. Apakah tidak ada orang di dalam? Kemana gadis itu? Bukankah mereka ada janji ke toko buku sore ini?

Pria itu berjalan, mengelilingi rumah Cara yang terlihat sepi. Jendela-jendela kaca tertutup rapat dengan gorden yang juga tertutup, menghalangi pihak luar untuk melihat isi rumah.

Ia membuka ponselnya, mengoperasikan aplikasi khusus untuk melacak lokasi Cara dari sinyal telepon gadis itu. Lokasi terakhir gadis itu berada jauh dari pusat kota.

Sial! Apa yang dilakukan gadis itu di sana?

Firasat buruk tiba-tiba melingkupi pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Ia tahu Cara bukanlah tipe orang yang suka melanggar janji. Jika gadis itu ingin membatalkan janjinya, pasti ia memberi kabar.

Ia mencari kontak Cara kemudian melakukan panggilan suara. Terdengar nada sambung dari seberang sana, tetapi tidak ada yang menerima panggilannya.

"Kenapa dia tidak mengangkat teleponku?"

Tanpa membuang waktu lagi untuk melakukan panggilan berikutnya, Reyes memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia bergegas menuju motor balapnya yang terparkir di halaman rumah Cara. Yang ada di pikirannya saat ini adalah keadaan gadis itu.

Ia menyalakan motornya, memutar gasnya dengan kencang kemudian membelah jalanan kompleks tempat tinggal Cara. Untung saja sore ini jalanan tidak terlalu padat, membuatnya bisa melajukan motor tanpa halangan.

***

Cahaya matahari semakin lama semakin meredup, membuat ruangan itu kian menggelap. Namun, tak lama kemudian secercah sinar dari obor yang menyala membuat ruangan itu lebih terang meskipun masih terlihat remang-remang.

Pria bermata biru kembali menghampiri mereka berdua di ruangan itu. Ia membawa selembar kaos berwana hitam yang tersampir di lengannya. Kakinya melangkah mendekati Cara yang terbaring dan terikat di atas meja.

Ia dapat melihat kondisi Cara yang begitu memprihatinkan. Tubuh penuh luka dengan bercak-bercak darah yang mulai mengering. Rambut kusutnya terhampar di atas meja. Ekspresi wajah gadis itu terlihat lelah dan kesakitan. Namun, hatinya terasa senang dan puas dengan kondisi Cara yang seperti ini.

Tangannya bergerak, menyentuh pipi Cara hingga membuat gadis itu menoleh. Mata gadis itu terlihat sembab dan sayu. Ia bisa melihat kesakitan dan kebencian yang tersirat di manik indah milik Cara.

Dengan segera, tangannya melepaskan ikatan yang membelit tangan Cara. Ia juga membantu gadis itu untuk duduk dan memakaikan kaosnya yang ternyata kebesaran di tubuh kecil Cara. Tak lupa ia melepaskan kuncian rantai pada kedua kaki Cara.

Gadis itu kini bebas. Ia bisa melakukan apa pun pada si mata biru. Meninju, menendang, atau apa pun bisa saja ia lakukan. Namun, ia tak sanggup untuk bergerak. Kulitnya terasa perih. Tulangnya terasa remuk. Lebih-lebih bagian bawah tubuhnya, pusat tubuhnya, terasa perih dan ngilu.

Matanya menerawang ke depan. Pikirannya berkecamuk. Hatinya memaki dirinya yang sangat bodoh karena ia mengambil keputusan yang salah. Tidak seharusnya ia masuk lagi ke dalam bangunan ini untuk menyelamatkan pria lemah yang menjadi kekasih Moza.

"Berikan bukti itu dan aku akan melepaskan kalian berdua!" Ujar si mata biru.

Suara si mata biru membuat lamunan Cara buyar. Ia menatap pria itu kemudian berganti menatap Pedro.

"Aku tidak akan memberikannya. Kau pikir aku tidak berusaha keras untuk mencari kebusukanmu?" Pedro mencibir si mata biru. Pria itu masih saja bersikap angkuh walapun kondisinya sudah babak belur.

Caramella MykelWhere stories live. Discover now