t w E n t y - n I n E

2.1K 219 33
                                    

Cara memasuki mobilnya di bagian kursi penumpang di belakang kursi kemudi. Ia membungkukkan badannya, masuk ke celah-celah kursi untuk mencari kotak kecil tempat penyimpanan alat perekam yang tadi tak sengaja dijatuhkannya. Tangannya meraba ke bagian bawah kursi dan akhirnya menemukan apa yang ia cari.

Segera ia keluarkan alat perekam sebesar kancing baju dari dalam tasnya. Ia memasukkan alat tersebut ke dalam kotak lalu menyimpannya di kantong belakang sandaran kursi kemudi. Mungkin ia akan menyerahkan laporannya besok. Biarlah Raja Zeus murka. Ia tidak peduli.

Cara menegakkan tubuhnya. Matanya menangkap seseorang yang berdiri di seberang mobilnya. Ia dapat melihat kegusaran pria itu yang seperti mencari sesuatu.

"Bukankah itu pria yang tadi berada di meja bar? Kenapa dia?" gumamnya masih terus mengamati pria itu.

Entah kenapa Cara merasa seperti mengenalnya. Ia mencoba mengingat siapa pria itu, tapi tidak berhasil. Hingga pria itu telah pergi dari hadapannya, Cara masih belum mengingat apa pun.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja. Entah siapa dia tidak ada pengaruhnya padaku, kan?" Ia mengangkat bahunya pelan dan menggelengkan kepalanya.

Cara segera berpindah tempat ke kursi kemudi. Ia mulai menyalakan mobilnya dan mengendarainya menuju rumahnya. Malam ini ia ingin istirahat dengan tenang dan berencana bangun siang. Jadi, ia memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang mengganggu tidur nyenyaknya.

***

Seorang pria tampak mulai kesal sambil menggenggam erat ponselnya. Ia memejamkan mata, mencoba meredam amarahnya. Dengan sedikit bantingan di meja kerjanya, ia meletakkan ponselnya.

"Sudah jam berapa ini? Kenapa dia tak bisa dihubungi?"

Pintu ruang kerjanya terbuka lebar dan menghasilkan bunyi berdebum yang cukup keras. Ia segera membalikkan badannya untuk melihat siapa yang dengan kurang ajarnya masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Ia menghela napas panjang saat melihat seorang wanita dengan wajah polosnya berdiri di sana sambil memerkan senyum merekah di wajahnya.

"Kau tampak seperti kesetanan," ucapnya tak acuh tanpa mengawali pembicaraan mereka dengan ucapan selamat pagi.

"Ini semua gara-gara kau, baby." Tunjuknya pada wanita itu yang membuat si wanita membulatkan matanya.

"Kenapa aku yang disalahkan?" Wanita itu berjalan memutar menuju kursi kebesaran milik lawan bicaranya. Ia menarik kursi itu sebelum mendudukinya dengan santai.

"Kau tidak bisa dihubungi dan laporan yang kuminta tak kunjung kau berikan. Kau tahu apa yang kau lakukan membuat kinerjaku melambat." Pria itu mendekati kursi di mana wanita itu duduk, lalu ia duduk di tepi meja sehingga mereka berhadapan dengan posisi si pria lebih tinggi daripada wanita itu.

"Hei, Tuan Pemarah, santai saja." Ia mengeluarkan sebuah memory card dan beberapa lembar kertas dari tas yang dibawanya, lalu menyerahkannya pada si pria.

"Itu bukti rekaman dan transkrip dari rekaman itu. Mereka akan melakukan pencurian di gudang senjatamu nanti malam dan bisa kupastikan hal itu tidak akan berhasil. Aku sudah menyusun rencana bersama Adelfo dan dia yang akan mengurus sisanya. Aku tidak ingin kau mengganggu waktu istirahatku seperti kemarin malam," jelasnya panjang lebar.

Pria itu menyeringai. Ia mengacak pelan rambut wanita itu dan akhirnya mendapatkan tepisan kasar di tangannya. Tawanya langsung lepas melihat reaksi wanita itu yang selalu tepat dengan dugaannya.

"Aku bukan anak kecil lagi, Zeus!"

"Tapi kau masih seperti gadis kecil bagiku, baby."

"Sial!" umpatnya kasar yang malah mendapatkan sentilan keras di dahinya.

Caramella MykelWhere stories live. Discover now