E I g h t

3.6K 366 81
                                    

"Ya, dan berhentilah bertanya soal dia." Reyes memberi peringatan.

Tubuh Moza bergetar seperti menahan sesak dalam hatinya. "Tapi dia kekasih ...."

"Persetan dengan kekasih sialanmu itu! Apa kau tahu? Cara, saudara kandungmu, rela menuruti permintaanmu hingga akhirnya dia menderita."

Moza hendak bersuara, tetapi Reyes memberi isyarat dengan tangannya agar gadis itu diam.

"Cara bukan hanya disekap, tapi dia juga dilecehkan dan dianiaya oleh penjahat itu. APA SEKARANG KAU MASIH MEMIKIRKAN KEKASIHMU? DI MANA HATIMU, HAH?!!" Suara Reyes mulai meninggi.

Moza terkesiap. Mulutnya menganga dan segera ditutup oleh telapak tangan kanannya. Ia tidak tahu hal buruk seperti ini menimpa saudaranya.

Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa Cara akan diperlakukan seperti itu. Yang ia tahu, Cara adalah gadis tangguh. Ia tidak akan kalah. Ia akan melawan siapa pun yang mengganggunya.

"A ... a ... ku ...." Tenggorokannya tercekat. Ia sulit mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya.

"Kau akan bilang 'aku tidak tahu', begitu? BAGAIMANA KAU BISA TAHU JIKA KAU MENUTUP MATAMU? KAU TIDAK AKAN PERNAH TAHU APA YANG MENIMPA SAUDARAMU KARENA KAU MEMANG TIDAK PERNAH PEDULI PADANYA. KAU, GADIS PALING EGOIS YANG PERNAH KUTEMUI!!" Bentak Reyes dengan suara yang menggelegar.

Emosi Reyes meledak begitu saja. Napasnya menderu. Urat-urat lehernya terlihat menonjol, menandakan bahwa ia benar-benar murka saat ini.

Moza menggelengkan kepalanya. Di pelupuk matanya telah menggenang air mata yang kemudian tumpah, membasahi pipinya. Ia terisak, menangis tersedu-sedu.

Rasa sesal tiba-tiba merayap, memasuki relung hatinya. Saudaranya, pelingdungnya benar-benar berkorban untuknya dan selama ini ia menutup matanya. Ia tak pernah peduli pada Cara. Ia hanya bisa merepotkan saudaranya.

"Tidak ada yang perlu kau sesali. Semua sudah terlambat. Cara sudah membencimu." Ucap Reyes sambil bersedekap.

Ia menarik napas panjang sebelum berkata, "Pergi dari sini. Berusahalah untuk hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain."

Perkataan Reyes menjadi penutup perbincangan mereka hari ini. Tanpa pamit, Moza berlari keluar dari kediaman Reyes.

Sepanjang perjalanan pulang ia hanya menangis sambil mengutuki dirinya sendiri. Ia egois dan tak punya hati. Ia juga bodoh karena telah menciptakan neraka bagi saudaranya.

Cara, maaf. Maafkan aku.

***

Sudah beberapa hari Cara tinggal di lingkungan baru. Ia merasa cukup senang karena tempat ini nyaman dan tenang.

Dihirupnya udara pagi yang terasa menyejukkan. Tidak begitu banyak polusi yang mengisi udara tempat ini karena merupakan daerah pinggiran yang jauh dari keramaian kota.

Cara menutup pintu rumah sebelum ia memutuskan jalan-jalan sekalian pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Letak pasar dari rumahnya memang cukup jauh dibandingkan dengan minimarket. Namun, ia memilih berbelanja di pasar karena selain harga barang di pasar lebih murah, ia juga butuh bahan pangan yang segar.

Kaki jenjangnya yang ditutupi oleh celana olahraga melangkah dan tak lama kemudian berlari kecil. Sambil berlari, ia menikmati pemandangan yang dilewatinya.

Kedai kopi dan toko roti mulai dibuka oleh pemiliknya, menyebabkan aroma kopi dan kue menyebar memenuhi jalanan. Anak-anak kecil berlarian bersama teman-teman mereka. Orang-orang dewasa juga melakukan aktivitas seperti jogging dan bersepeda. Binatang peliharaan pun turut serta memenuhi jalanan.

Cara mengingat-ingat keramaian ini dan akhirnya ia tahu bahwa sekarang akhir pekan. Pantas saja ramai. Semua orang pasti berkumpul dengan keluarganya dan menikmati akhir pekan bersama.

Ia menghela napas berat ketika mengingat kata "keluarga". Ia merindukan kehangatan keluarganya. Namun, ditepisnya pemikiran itu jauh-jauh. Ia tak mau pulang ke tanah airnya, apalagi dengan membawa beban moral yang ia pikul.

Lamunannya membuat konsentrasinya pecah hingga ia menubruk seseorang di depannya. Hampir saja ia jatuh, jika seseorang itu tidak menangkap tubuhnya.

"Kau tidak apa-apa, kan?" Suara seorang pria membuat Cara tersadar dan segera menjauhkan tubuhnya dari pria itu.

"Maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku." Cara membungkukkan badan dan menundukkan kepalanya.

"Ya, bukan masalah." Jawab pria itu santai.

Cara mengangkat kepalanya hingga manik cokelat miliknya bertemu dengan manik biru pria di hadapannya. Jantung Cara berdegup kencang. Tubuhnya terasa gemetar.

"Apa kau ...."

Cara hanya mampu menangkap sepenggal ucapan yang keluar dari mulut pria itu. Telinganya seakan tuli. Hanya indera penglihatannya saja yang mampu menangkap pemandangan di hadapannya.

Ia mengepalkan tangannya erat dan menyiapkan ancang-ancang sebelum berlari meninggalkan pria bermata biru yang baru saja ditubruknya. Cara berlari dengan kencang tanpa mempedulikan sekitarnya. Yang terpenting baginya, ia bisa menjauh dari pria itu.

Pria yang tadi ditubruk Cara hanya bisa memandang heran pada gadis itu. Ia sedikit bingung dengan tingkah Cara yang terlihat seperti orang ketakutan.

"Dia kenapa? Seperti melihat hantu saja." Ujarnya sambil mengangkat kedua bahunya.

***

Napas Cara terasa putus-putus ketika kakinya berhenti di pasar yang ia tuju. Bulir-bulir keringat bermunculan di pelipisnya. Kepalanya juga terasa sedikit pusing.

Kepalanya bergerak, menoleh ke sekitarnya. Ia melihat sebuah dinding toko yang tidak jauh darinya. Kakinya melangkah mendekati dinding itu.

"Huh!!." Keluhnya saat ia membenturkan punggungnya ke dinding.

Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak sambil menunggu rasa pusing di kepalanya menghilang. Butuh waktu beberapa menit hingga rasa pusing itu benar-benar hilang.

Setelah yakin ia kepalanya tidak pusing lagi, Cara berjalan memasuki pasar dan membeli beberapa kebutuhan pangan. Sayur dan ikan segar yang diinginkannya telah berada di dalam beberapa kantong plastik yang dijinjingnya.

"Ah, itu ada kios buah."

Cara menuju kios buah untuk membeli beberapa apel merah dan anggur. Matanya berbinar kala melihat buah yang bagus dan segar terpajang di hadapannya. Ia memilih beberapa buah apel untuk ditimbang. Tak sengaja, tangannya menyenggol buah manggis dan membuat salah satunya jatuh menggelinding.

Ia bergegas mengejar buah manggis itu. Tubuhnya merunduk ketika hendak mengambil buah berkulit ungu dengan rasa manis dan asam. Namun, sebuah tangan mengambil alih tindakannya.

Matanya menatap pada tangan yang kini menggenggam buah itu. Tangan seorang pria karena terlihat kokoh dengan beberapa otot yang menonjol.

Tangan itu terulur ke hadapan Cara. Ia segera mengambil buah manggis dari tangan pria itu.

"Terima kasih atas bantuannya." Ucap Cara masih menunduk karena mencoba untuk berdiri.

"Sama-sama." Jawab pria itu.

Deg

Cara terkesiap. Suara itu terasa tidak asing di telinganya. Perlahan ia melirik pria yang berdiri menjulang di hadapannya hingga akhirnya manik mata mereka bertemu.

Napas Cara tercekat. Matanya membulat sempurna saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya saat ini.

Pria itu ...

Tidak salah lagi, dia ...

.

.

To be continue...

Caramella MykelWhere stories live. Discover now