s E v E n

3.6K 317 52
                                    

Cara sudah siap dengan dua koper besar yang berisi pakaian dan barang-barangnya. Ia hanya mengemasi apa yang dianggapnya penting sehingga menyisakan beberapa barang yang menurutnya kurang penting.

Tubuhnya ia dudukkan di kursi sembari menunggu kedatangan Reyes yang akan menjemputnya dan membawanya ke suatu tempat. Ia ingin menyendiri dulu dalam beberapa minggu sebelum kepergiannya ke Finlandia. Kalau ia tetap di rumah ini, pasti ia akan bertemu Moza dan berniat untuk menghabisinya. Jadi, dia harus meredam emosinya terlebih dahulu dengan menyendiri.

Sejujurnya emosi dalam dirinya sudah mencapai puncak, bahkan akan meledak jika ia tak sanggup mengontrolnya. Mungkin karena emosi yang sudah ditahannya dari dulu karena menghadapi saudaranya. Ia dari kecil memang sudah disuruh-suruh oleh Moza dan bodohnya ia menurutinya. Sebenarnya ia ingin menolak, tetapi ia ingat pesan ibunya "Jangan bertengkar dengan saudaramu. Kalian harus saling menjaga, harus saling melindungi".

Cara mendengus keras saat teringat lagi pesan ibunya. Saling menjaga dan melindungi tidak ada dalam hubungan persaudaraannya karena dirinyalah yang melindungi Moza. Maka dari itu ia bersikeras untuk pergi dari rumah, hidup mandiri di luar sana pun ia jalani. Namun, takdir berkata lain. Lagi-lagi Moza mengacaukan hidupnya.

Suara klakson membuyarkan lamunan Cara. Ia bangkit dari kursi, melangkah mendekati pintu untuk memastikan bahwa itu suara mobil Reyes.

Benar saja, itu memang mobil sahabatnya. Ia mengambil dua koper, menyeretnya keluar dari rumah kemudian mengunci pintu rumah sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan tempat yang setahun terakhir ini ditinggalinya.

***

"Shit!"

Ia mengumpat keras sambil memukul tembok dengan kepalan tangannya hingga meninggalkan noda darah. Tak peduli rasa nyeri yang menyergap. Ia hanya peduli pada kabar Carlos dan gadis itu.

Carlos merupakan anggota gangster yang sudah bergabung dengannya selama beberapa tahun. Tak diragukan lagi kesetiaan Carlos pada komplotannya. Namun, saat ini pria itu menghilang tanpa jejak diikuti oleh hilangnya gadis itu.

Apakah Carlos mengkhianatinya? Ah, rasanya tidak mungkin. Tidak ada yang berani mendekati penjara tempat gadis itu dikurung, selain dirinya.

Pandangannya menatap apa pun di dalam kamarnya hingga jatuh pada pakaian yang tergeletak di sudut ruangan. Pakaian terakhir yang dipakai gadis itu sebelum ia merobeknya.

Kakinya berjalan mendekati pakaian itu. Diambilnya sesuatu yang menyembul dari saku celana berwarna biru tua milik gadisnya.

Sebuah ponsel kini berada dalam genggaman tangannya. Ia mencoba menyalakan ponsel itu, tetapi tidak bisa. Sudah beberapa hari ponsel itu dibiarkan begitu saja. Mungkin daya baterai juga sudah habis hingga menyebabkan ponsel tidak aktif.

Ia membawa ponsel itu ke sebuah meja kerja dengan stop kontak yang tersedia di sana. Tangannya yang bebas mencolokkan ujung kabel pengisi daya ke stop kontak dan menyambungkan ujung yang satunya dengan ponsel milik gadis itu.

Ditunggunya dua menit sebelum menyalakan kembali ponsel itu dan akhirnya berhasil. Ponsel pun aktif.

Jemarinya bergerak lincah membuka beberapa aplikasi seperti pesan dan email yang sekiranya memberitahukan identitas gadis itu. Matanya menangkap nama "Cara" di sana. Caramella Mykel.

Ia termenung sejenak. Bertanya pada dirinya sendiri. Siapakah Cara? Bukankah pria sialan itu memanggil gadis itu dengan nama Moza?

Ia menutup aplikasi pesan dan membuka galeri. Ia menemukan banyak foto di sana. Salah satu foto menunjukkan dua gadis dengan wajah mirip dan ia sudah cukup hapal dengan wajah itu. Ada lagi foto seorang gadis dengan seorang pria seumuran, sepertinya teman sekolah.

Caramella MykelWhere stories live. Discover now