18. Broken : Happy

16.3K 2.4K 790
                                    

SEOHEE jelas dapat mendengar suara tawa sumbang dari pria yang kini berada tepat di hadapannya. Ia terdiam saat itu, memaku tatapan hanya pada Jimin yang telah menghentikan tawa, memainkan lidah dalam mulutnya lantas menyemburkan napas.

"Aku yakin kau mengerti. Kau bahkan sudah tahu jawabannya bahwa aku tak akan setuju," kata Jimin dengan raut kacau.

Sejak wanitanya mengatakan hal itu, hatinya terasa pecah berkeping-keping―tentu saja. Memang pria mana yang rela membiarkan kekasihnya dibawa pria lain untuk melakukan bulan madu sekali pun hal itu demi kepentingan kesepakatan, pekerjaan, bisnis―atau semacamnya. Itu gila.

Jimin mendekat pada Seohee lalu memegang bahunya bersamaan dengan gerakan meremas lembut, "Min Seohee, kau itu kekasihku―bukan pelacur yang bisa disewa pria mana pun. Kalau aku menyerahkanmu pada pria itu, lalu kau pikir aku ini apa?" tatapan dalamnya berhasil memenjarakan Seohee untuk menetap di sana, membuat lawannya mendadak bimbang harus melakukan apa.

Tentu saja pertanyaan pria itu berhasil membuat pikiran Seohee tumpul. Ia tidak tahu status mereka yang sebenarnya untuk saat ini. Semenjak hari pernikahan itu terjadi, bahkan Seohee pikir mereka semakin menjauh. Perputaran waktu telah mengubah suatu kondisi, dimana seharusnya mereka menjadi sepasang kekasih―namun tiba-tiba malah seperti orang asing karena jarang bertemu.

Manik mereka menyorot lama dalam sunyi, diam dengan pikiran masing-masing. Jimin berharap atmosfer di sekitar tak cepat berubah jadi lebih buruk, sebab itu ia mencoba bersikap lembut pada wanitanya. Terlebih lagi, ia memang belum pernah sekali pun bersikap kasar pada Seohee yang menurutnya sangat berharga.

Ia melihat Seohee mulai gemetar, tak bisa memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja jika dilihat dari raut wajahnya. Sejenak Seohee memejamkan mata untuk berpikir kembali, sementara pelupuknya mulai mengembun basah. "Maafkan aku, Jim."

Mematung dalam diam, Jimin menjilat bibirnya sendiri dengan bola mata yang bergulir bingung. Ia mencoba meraih kedua tangan Seohee untuk digenggam, sayangnya hanya mendapat penolakan―membuat sang lawan bicara mundur selangkah. "Seohee ...," kerongkongannya terasa mengering dan juga sakit, "Sayang, jangan bilang kau akan―"

Kepala si wanita terangkat pelan lantas menyorot sejurus, "Aku harus melakukan ini agar aku dapat menyelesaikan semuanya, aku sudah tidak tahan lagi. Tapi aku juga tidak bisa melihat orang tuaku terluka, kau tahu―aku sangat lelah, Jim. Biarkan aku memilih jalan ini, kumohon."

Ucapan itu menjadi satu tamparan keras yang berhasil mencambuk hati Jimin, pandangannya bahkan langsung menunjukkan keterkejutan luar biasa.

Sekarang perasaan keduanya sedang tak baik-baik saja, bahkan udara yang terhirup tak lagi mampu menyegarkan kondisi paru-paru. Suasana sunyi yang mencekam, arti tatapan tak lagi terbaca, semuanya seolah kosong sampai akhirnya Jimin berucap lirih, "Baik ... baiklah kalau begitu."

"Lakukan yang kau mau dan jangan pernah kembali padaku."

"Jim―"

"Jangan datang lagi. Jangan pernah muncul di hadapanku. Kau tidak pernah mengerti perasaanku. Hubungan ini sudah mati sejak lama, benar kan? Seohee, aku kecewa padamu. Sangat," air mata pria itu meluncur begitu deras di pipi, "Terima kasih telah menemani hari-hariku yang menyibukkan, kau boleh pergi."

Ia tak menangis sendiri, tangis Seohee turut pecah seketika―berlutut di atas lantai flat ketika Jimin telah melangkah cepat meninggalkannya, menciptakan bunyi debuman pintu kamar dengan cukup keras lalu disusul bunyi pecahan kaca beberapa menit setelahnya.

Punggungnya bergetar begitu hebat, menangis tanpa suara ternyata menjadi hal paling menyesakkan, membuatnya menggigit lidah dengan begitu keras―meratapi lantai flat dengan pandangan berkabut dan juga tangisan deras. "Kenapa harus mengatakan itu? Aku tidak pernah ingin hubungan ini berakhir. Aku ingin kau menunggu sebentar saja, Jim. Hanya sebentar―"

Trapped by DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang