Dua belas

10.7K 511 20
                                    

"Ida ...Taxinya udah datang belum?" Hana mematikan tv lalu beranjak dari duduknya.

"Sudah Bu. Emang  mau kemana?" mendengar pertanyaan Ida membuat kepala Hana menggeleng bangga sambil mendengus, riang.

"Saya mau pulang. Enggak betah lama lama disini."

Ida mengumpat tanpa suara memperagakan gaya bicara Hana saat sosok Mertua majikannya hilang di pintu kamar.

Saya mau pulang. Enggak betah lama lama disini? Emang siapa yang betah ada kamu di sini sih Ondel?

"Mertua datang ko malah di tinggal tinggal Da. Itu kan enggak sopan tau." tambah Hana yang tiba tiba muncul membawa tas tenteng berwarna kuning di tangan kirinya. Membuat Ida menghentikan omeliannya hanya menggaruk mulut spontan.

"Eh kamu belum kawin kan?" Hana menunjuk wajah Ida. Membuatnya menggeleng kaku lalu diam hanya menunggu lanjutan kalimat Hana.

"Ini bawain kedepan!" Hana mengalihkan telunjuk dari Ida ke koper yang tergeletak di samping sofa, "Kalo kamu kawin nanti ... Harus sopan dan baik sama Mertua." nasehatnya membuat wajah Ida melongo bingung dengan kening mengkerut.

"Jangan kaya Indri... Uuh itu cewe udah mandul enggak punya etika lagi." lanjut Hana menggidik bahu ngeri membuat wajah Ida semakin melongo, menunjukan ekspresi kesal dan ingin membantah setiap  omongannya.

"Ida jaga rumah! Saya pulang dulu."  Hana berbalik memasuki bangku belakang mobil saat supir taki membantu membukakan pintu.

Ini orang nggak nyadar apa ... Ko ngomongin kelakuan sendiri? Ikhh makin bikin gue genek gereget pingin ngulek ngulek tuh mulut. Gumamnya, kedua tangannya sudah terkepal erat saat taxi mulai perlahan pergi meninggalkan rumah.

Di kursi di ruang makan, Ida duduk menyandar dengan wajahnya yang kusut terlihat kantung mata penuh kelelahan.

Akhirnya kuping gue enggak panas lagi. Ida menghembus napas panjang.
             
                          ••••••••

"kalin semua, beritahu saya segera dan terus awasi mereka!" perintahnya pada seluruh karyawan yang saat ini berjajar bisu di hadapannya, mengangguk agangguk tanpa ada suara, pasrah hanya menunduk.

"Saya tidak mau kalo mereka sampai tahu!  Dan saya tidak bisa kasih toleransi kalian!" ancamnya dengan rahang mengeras kemejanya di lipat hingga sesikut memperlihatkan urat urat tangan kehijauan yang mengeras.

"Memang ada apa Pak?" seorang Barista mengangkat tangan di barisan belakang dengan ragu ragu, tapi akhirnya mengangkat wajahnya dan memberanikan menatap pemimpinnya di depan yang tengah berdiri tegak melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah sedikit kaget mendengar keberaniannya bertanya seperti itu.

Dia menarik napas pelan sambil mengusap wajahnya kasar. Perlahan.

"Saya ... Tidak wajib menjawab rasa penasaran kalian dan kalian juga dilarang untuk mencari tahu. Kalian cukup lakukan perintah saya."

"Baik Pak." jawab serempak sambil mengangguk lalu bubar saat pemimpin undur diri berlalu memasuki ruang menutup pintu.

                           •••••••

Indri menatap sepenuhnya pada ponsel yang bergetar saat Leon tengah menanti di tempat parkir selepas berbelanja.

Indri menarik napas dalam dalam beberapa detik, mencoba menetralisir emosinya lalu beranjak sambil meyakinkan hatinya jika dia kuat untuk melakukan rencana lain setelah pesan singkat yang di bacanya.

Aku akan hancurkan kalian jika saatnya tiba Leon!

Di tempat lain, Leon. Bibirnya sesekali merekah  dengan ponsel yang menempel di daun telinga.

"Spesial sayang ... Enggak enggak boleh tau! yang pasti kamu bakal seneng."

Aihh! "Ko gitu ...Maen rahasia rahasiaan?"

"Kan spesial! Masa harus bilang?" Leon terkekeh geli, menggeleng geleng pelan.

Tanpa di sadari Leon, dari kejauhan Indri diam memperhatikan sikapnya di dalam mobil. Membuat langkah wanita itu sedikit bergetar lemas menghampiri mobil lalu berdehem membuat ekspresi Leon tercengang kaget.

"Kita jadi ke dokter?" tanya Leon menyalakan mesin mobil lalu mengalihkan pandangan ke depan.

Indri diam sesaat sebelum kemudia dia mengangguk, "Iah." sahutnya singkat.

20 menit....

"Saya tidak menemukan ciri ciri Istri Bapa hamil. Bahkan hasil dari tespek juga tidak membuktikan." wanita dengan setelan jas putihnya tersenyum pelan mendorong kaca matanya lebih atas, sejajar dengan kelopak mata.

Indri  dan Leon saling melempar pandangan tidak paham namun hanya beberapa detik sebelum akhirnya Indri lebih dulu melepas tautan mereka. Hanya duduk menunduk meremas remas sepuluh jemari tangan yang berada di atas pangkuannya.

Sedangkan Leon. Berulang kali dia mengusap wajahnya pelan menghembus napas lalu memutar mata jengah mendesis berulang kali lalu menatap dokter di depanya berulang kali.

Membuat ruangan bercat serba putih itu terasa menyesak hambar tanpa aktipitas atau pun pembicaraan.

"Apa perubahan dalam diri istri saya tidak bisa di katakan ...?" Leon mendesah pelan mengusap kening tanpa keringat menghentikan ucapannya dan menggantung membuat dokter itu mengangguk angguk kecil, paham.

"Saya paham! ...Tapi masa kehamilan tidak bisa di tangani secepat ini, Pak. Ada tahapan tahapannya sendiri. Bapa dan Ibu tadi bilang menstruasi terakhir sudah hamoir dua bulan tidak ada, dan dalam waktu kurung dua bulan itu bisa saja tengah penumbuhan sel sel telor rahim. Tapi itu pun kalo masa rahim Ibu tengah subur."

"Jadi berapa bulan pun saya tidak mendapatkan menstruasi itu belum bisa di pastikan saya hamil?" potong Indri membuat dokter itu mengangguk angguk.

"Tapi jika kondisi Ibu masih sama satu-dua minggu kedepan bisa segera kembali cek  dan nanti kita akan menggunakan sistem Usg Bagaimana?" tanyanya.

                          ••••••


Vont sama komennya mana nihh..

wanita lain ( End )Where stories live. Discover now