Tiga puluh sembilan

7.6K 371 8
                                    

Di dalam mobil yang melaju pelan Indri menyandarkan punggung pada sandara jok. Di samping belakang kemudi, tubuhnya bergetar wajahnya terlihat kusut.

Sejak kepulangannya dari rumah Ilham Indri tidak bisa memungkiri jika dia mengkhawatirkan Ilham dan Gilang.

Dia takut Leon dan anak buahnya sudah lebih dulu bertindak, menghajar bocah smk. Indri tahu Gilang bisa bela diri tapi melawan tiga orang sekaligus bukan kemampuhan anak seperti Gilang.

Membayangkan Gilang melawan Leon saja sudah bisa di tebak siapa yang kalah apalagi di tambah melawan dua anak buahnya juga.

Apa yang harus gue lakukan?" Indri bertanya pada hatinya sendiri. Menggigit gigiti kuku kuku jarinya yang berwarna toska.

Bahkan kejadian tadi di rumah Ilham masih terus berputar menari nari di kepala Indri.

Indri meremas dadanya dengan sebelah tangan yang menangkup kening. Setiap kali mengingat Ilham atapun kejadian tadi sesuatu terasa berdesir hangat menggetarkan hatinya.


"Kita langsung ke kantor, bu?" pertanyaan supir membuat Indri tersadar.

"Iah!" Indri menghembuskan napas, memijat mijat pelipis.

Hampir 20 menit Indri berada dalam mobil, setelah kemudian mobil yang membawanya memasuki halaman gedung yang memiliki 60 lantai.

Indri menurunkan kaki kirinya perlahan, sudah bertahun tahun kakinya tidak pernah menginjak lantai abu abu licin itu.
Bahkan Indri sendiri sudah lupa tanggal atau tahun terakhir dia ke kantor.


Masih dengan posisinya berdiri di depan supir yang tengah menutup kembali pintu belakang mobil. Indri menarik hembuskan napas berdiri dengan kewibawaan sambil berseru. "Tolong kamu ke rumah teman saya. Kamu awasi dia, kamu masih ingat bukan Geisa?"

"Masih bu, teman wanita Ibu yang singel itu, bukan?" supir itu membungkuk sopan.

"Iah!" Indri menyahut tanpa menoleh, menaiki perlahan anak tangga. Membuat
beberapa pasang mata sontak terlempar kepadanya.

Seorang wanita berseragam khas perkantoran dengan rambut di gulung itu sudah berdiri tersenyum di depan pintu kaca yang otomatis terbuka dengan satu security yang ikut membungkuk sopan di sebelah kiri, sedangkan mobil yang membawanya sudah melesat kembali meninggalkan halaman perkantoran.

Indri membalas senyuman wanita dan security itu. Mempersilahkan dirinya memasuki kantor dan mengikutinya bagai seorang pengawal.

Memasuki kantor, Indri mendapatkan pandangan hormat dan sopan berlebihan dari seluruh karyawan yang berpapasan dengan'nya.

Wanita yang mengikutinya masih terus berjalan di sampingnya. Sesekali bersikap mempersilahkan hingga memasuki lift yang membawanya ke lantai teratas, lantai 60.


"Ini bu, maaf saya permisi!" wanita itu menunjuk seorang wanita berpakaian mini dengan aksesoris simpel melingkar di lehernya, pamit undur diri dan pergi setelah dapat anggukan.

"Selamat sore bu?" wanita yang tidak lain adalah asisten Leon itu membungkuk sebagai penghormatan sopan sambil melempar senyum.


"Tolong ke ruangan saya, sekarang!" Indri mendorong pintu kaca memasuki ruangan kerjanya, dulu. Sebelum kemudian dirinya bertemu dengan Leon dan menikah memberikan kekuasaan untuk Leon pimpin.

Indri melebarkan pandangan, memeriksa setiap sudut kantor. Posisi sopa yang dulu di sudut samping pintu sekarang letaknya berpindah jauh jadi berada hampir di pertengahan ruangan.

wanita lain ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang