Tiga puluh satu

9.1K 500 17
                                    

"Gimana Dri?" Tanya Geisa yang baru sampai sambil mengatur alur pernapasannya.

Indri beranjak dari duduknya, menggeleng dengan pundak menggidik tidak tahu. "Belum ada yang keluar," suara Indri terdengar berat di telinga wanita yang masih mengatur deru napasnya.

"Oh, ia. Gue boleh minta tolong nggak Ges?"

"Apa?"

"Gue mual banget." Indri mengelus perut lalu duduk kembali di kursi besi. "Gu-.."

"Lo mau gue beliin apa?" Geisa sudah lebih dahulu memotong sambil beranjak dari kursi. Wanita itu memang paling tidak bisa melihat raut sedih dari wajah Indri.

"Gue pingin jus Sirsak. Lo mau beliin?" Indri memamerkan deretan gigi putihnya.

"Ya, udah. Tunggu, gue kekantin bentar." Geisa pamit sambil melenggang pergi meninggalkan Indri yang hanya menyandar   pada tembok putih rumah sakit.

Baru saja punggung Geisa menghilang di ujung belokan lorong. Suara pintu terdengar di buka dari dalam menyembulkan satu dokter dengan beberapa suster keluar dari dalam. Wajah dokter itu tampak terlihat lelah di penuhi bintik bintik peluh.

"Bagaimana Dok?" Indri beranjak menghampiri sambil terus menyentuh  perutnya.

"Masa kritis pasien sudah lewat. Tapi pasien masih harus di tindak lanjutkan akibat benturan dibagian tulang belakang kepalanya."

"Apa ini tidak terlalu berbahaya Dok?" Indri memelankan nada suaranya. Ada rasa ketidak percayaan dari dirinya.

Dokter dengan nama Galih itu menggeleng samar sambil berseru. "Saya tidak bisa menjanjikan tapi saya akan berusaha semampuh saya."

"Indri.!" Suara seorang wanita bersamaan langkah kaki yang mendekat membuat Indri, dokter dan beberapa suster melempar pandangan kearah sumber suara.

Hana, wanita itu menatap geram ke arah Indri yang mematung.

"Kalo begitu saya permisi." pamit dokter bersamaan suster yang melangkah pergi. "Kalo ada apa apa panggil saya saja ke ruangan." dokter Galih melangkah pergi.

"Apa yang terjadi sama Leon Indri? Hana mencengkram siku tangan Indri. Membuat Indri meringis kesakitan.

"Dia kecelakaan Bu."

Hana mendorong bahu Indri hingga membuatnya hampir terjungkal. Lalu mengomelinya lantang hingga menggema.

"Dasar wanita pembawa sial. Kalo saja dulu dia tidak bersi keras menikahi kamu pasti dia tidak akan ada di sini sekarang dan aku. Aku sudah memiliki cucu." bentaknya.

"Siapa yang pembawa sial?"

Keduanya menoleh pada sumber suara. Seorang laki laki dengan wanita tua di sampingnya tengah menatap tidak suka ke arahnya. Membuat Hana gelagapan dengan kening mengkerut.

Hana mengercit kening lalu menatap Indri dan dua orang yang baru bertemu di hadapannya. "Siapa kalian?" Hana tersenyum masam setelah mengucapkannya.

"Saya adalah wanita yang telah melahirkannya! telunjuk Sania terangkat kearah Indri.

"Apa?"

Kenapa mereka tahu aku di sini?

"Mah.." Indri membungkuk mencium punggung tangan Sania lalu menatap nanar pada Gilang yang tengah berdiri canggung di belakangnya.

"B- bukannya...?" suara Hana terdengar gagap entah kenapa pertanyaan yang terancing di otaknya begitu sulit terucap.

"Bukannya perusahaan yang di kelola Leon anak anda adalah perusahaan Indri. ... Kaka saya?" Gilang melangkah mendekatkan posisi berdirinya.

wanita lain ( End )Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz