[4] Ngelabrak bukan?

1.1K 77 1
                                    

Melihat motor si makhluk yang paling kubenci masih ada membuatku mendapat ide. Aku menepuk tangan Rama membuatnya yang sedang memasang helm menatapku. "Napa?"

"Lo duluan aja deh."

"Lah? Lo gimana?" tanyanya heran membuatku harus memutar otak.

"Gua.. " ayo otak, carilah sebuah alasan agar Rama percaya. "Gua lupa. Ada yang ketinggalan di kelas."

Rama mengangguk. "Yaudah, gua tungguin."

Aku langsung menggeleng. "Gak usah. Habis itu gua masih ada urusan. Lo pulang deh sana!"

"Lo kenapa sih, Lan?" tanyanya membuatku dilema antara cerita atau tidak.

Munculnya Nadiya membuatku tersenyum lebar. Aku berteriak memanggilnya. "Sini!"

Nadiya mendekat dan Rama menyapanya. Nah mumpung Rama sedang mengeluarkan jurus gombalannya pada Nadiya, aku perlahan mundur lalu pergi dari hadapan mereka. Tujuanku sekarang mencari Elang. Akan kubuat dia menyesal karena telah mengecewakan temanku.

Kembali ke dalam area sekolah, aku merutuki diriku sendiri. Sekolah ini kan luas. Apa bisa aku menemuinya di saat aku bahkan tak tau dia sekarang di mana? Beberapa murid menyapaku, aku balas tersenyum lalu mencari Elang ke kelasnya. Lelah sekali, jauh-jauh berjalan ke kelasnya tapi ternyata kelasnya sudah kosong. Di mana ya dia? Aku kembali melangkah dengan kepala menunduk hingga aku membentur sesuatu. Kenapa di depan sepatuku ada sepasang sepatu juga? Aku mendongak lalu menganga. Ternyata bukan menabrak sesuatu tapi seseorang. Aku mundur selangkah lalu berdeham. Ia melirikku dengan datar. "Nabrak orang emang hobi lo ya?"

Aku melotot. Menggulung lengan seragam lalu maju dan mencengkram kerah lehernya. Aku harus berjinjit karena dia amat tinggi dan aku pendek:( sangat disayangkan. "Lo gak pernah diajarin orang tua lo ya caranya menghargai orang lain?"

Kulihat perubahan raut wajahnya. Dia menatapku dingin lalu memajukan wajahnya mendekatiku. "Lo mau apa?" tanyanya membuatku melepas kerahnya lalu berdecih.

"Ihhh jangan deket-deket!"

Aku merasa aku dan dia memang tidak bisa menjadi teman. Buktinya, apa yang kita bicarakan selalu berlawanan. Aku bertanya apa dia malah balik bertanya hal lain. Ini pembicaraan apa sebenarnya?

Aku menunjuknya dengan muka yang kupasang segarang mungkin. "Gua gak suka ya lo ngecewain Nadiya kayak tadi!"

Elang menaikkan sebelah alisnya. "Siapa yang nyuruh dia berharap sama gua? Lo tau? kecewa itu ada karena perasaan terlalu berharap."

Dalam hati aku membenarkan ucapannya tapi aku tidak mau kalah darinya. "Nadiya kan nunjukkin ketertarikannya sama lo! Lo gak usah sok kegantengan deh! Syukur-syukur ada cewek yang naksir sama lo!"

Dan kalian tau apa responnya setelah aku mengoceh panjang lebar? Dia hanya mengangguk yang membuat kadar kebencianku makin bertambah.

"Gua benci banget sama lo, Lang! Serius!" ucapku membuatnya mengangguk.

"Yaudah sana pergi!" usirnya membuatku terperangah.

Aku maju lalu berkacak pinggang. "Pokoknya yang tadi itu terakhir gua ngeliat lo jahat sama Nadiya! Kalo sampe lo begi--"

"Mau apa?"

"Lo bakalan habis sama gua!" ancamku membuatnya menatapku tak percaya.

Ia menaikkan tangan, mengukur tingginya dengan tinggiku yang sebatas dadanya. Ia juga memperhatikan badanku membuatku menutup matanya. "Lo liat apa?!"

Dia mengibas tanganku lalu menggeleng. "Badan lo kecil, lo juga pendek. Lo yakin bisa ngabisin gua?" tanyanya sambil tersenyum mengejek.

"LO!!" tunjukku lalu mengubah tanganku menjadi kepalan. "Arghhhhh!" aku melangkah mundur ketika ia menatap jam tangannya.

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now