[14] Hujan

646 48 6
                                    

Aku baru selesai menunaikan shalat isya dan hendak bersiap menjenguk Nadiya lagi saat ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Rama? Angkat tidak ya? Sebenarnya aku masih malas ngomong dengan Rama tapi siapa tau ini penting? Aku mengangkatnya dan tersenyum ketika sadar yang menelpon ternyata Nadiya. Ah, aku baru ingat hpnya kan diambil sama tukang begal.

"Hai, Nad."

"Gua lagi persiapan pulang ini dibantu Marcel makanya ngabarin lo, takut lo lagi otw ke sini."

"Bener banget. Ini padahal mau siap-siap ke sana. Yaudah gua otw rumah lo aja sekarang."

"Pril..."

"Ya?"

"Lo gak capek apa? Lo kan udah jenguk gua, lagian gua yakin lo di rumah pasti mantau depot kan? Lo yakin mau ke rumah gua lagi? Lo kurang istirahat, Pril."

"Yaampun gua kira apa. Santai aja, Nad. Ini kebetulan ada nyokap yang mantau, barusan juga dia masakin makanan kesukaan lo loh. Makanya ini gua mau nyamperin lo."

"Yaudah terserah lo. Titi dj, Pril."

"Oke."

Aku bergegas menyambut rantang dari Bunda dan berangkat menuju rumah Nadiya diantar oleh mamang yang lagi gak ada antaran galon 😂

•••

Nadiya bergumam terima kasih atas makanan bunda. Aku hanya tersenyum. Memperhatikan Nadiya yang lahap sekali makan. "Lo kayak gak makan seminggu tau, Nad."

Nadiya mendelik. "Biarin lah. Gua udah cukup tersiksa makan makanan rumah sakit yang hambar. Gua aja heran kenapa sampai dirawat segala padahal luka gua luka luar semua, Pril."

"Kan biar sekalian di periksa, Nad. Takutnya ada luka dalam." Sela Rama yang ikut makan setelah izin sama Nadiya.

Bunyi dentingan sendok terdengar jelas karena kita bertiga memilih diam. Aku membiarkan mereka berdua makan sementara aku menyandarkan tubuhku sambil memejamkan mata. "Lo capek, Pril?"

"Dikit."

"Sana, istirahat di kamar."

Aku membuka mata lalu menggeleng. "Gua pulang aja deh."

"Gua antar."

Baru aku mau menggeleng ketika Nadiya memelototiku dan Rama merangkulku yang sudah berdiri.

"Gua gak mau dengar penolakan lo lagi. Lagian emang gua tega biarin sahabat gua pulang sendiri?"

Pertanyaan yang sekali lagi menyadarkanku apa status diantara aku dan Rama. Aku tersenyum tipis lalu mengangguk. Sempat cipika-cipiki dengan Nadiya sebelum melenggang pergi.

Perjalanan menuju rumahku terasa sangat lama karena suasana hening. Aku diam, bingung hendak berbicara apa dengan Rama. Jujur, aku masih sedikit sakit hati dengan perlakuannya kemarin. Rama juga diam. Mungkin dia sama bingungnya dengan aku. Tiba-tiba aku merasa kami berdua adalah orang asing.

"Lan,"

"Iya?"

"Lo kok diem?"

"Lah, terus gua harus jungkir balik dari motor lo sekarang?" Tanyaku bercanda yang membuatnya terbahak.

"Lan, gua bener-bener minta maaf."

"Iya, Ram. Udahlah, gak usah bahas itu lagi."

Aku membuang muka ketika mendengar hela nafasnya. "Oke."

Lalu hening lagi. Baru aku mau membuka percakapan ketika petir menggelegar dan rintik hujan mulai turun. Rama menepikan motornya di depan ruko kosong. "Kita neduh dulu, Lan."

Menyimpan RasaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz