[38] Trust

385 50 16
                                    

Bel pulang berbunyi dan aku segera keluar kelas. Aku tidak ingin lebih lama lagi berada di dalam kelas yang siswa-siswinya tiada henti mencibirku. Sudah jelas semua memihak Nadiya. Dari dulu juga begitu. Aku hanya beruntung karena Nadiya dulu teman bahkan menjadi sahabatku tapi sekarang? Ketika Nadiya sudah tidak bersamaku, apa ada yang masih mau berteman denganku ini? Aku bukan siapa-siapa di mata mereka.

Aku melangkah menuju toilet ketika langkahku dihadang. Ada Elang di depanku dan ada Rama di belakangnya. Aku menatap mereka bergantian sebelum berdeham.

"Kenapa?"

"Ayo pulang." Ajak Elang yang membuatku menggeleng.

Rama memperhatikan kami. Ia menatapku prihatin yang membuatku kesal.

"Kalian pulang duluan aja." Ucapku yang membuat Elang menunjuk dirinya sendiri.

Aku memberinya kode untuk menoleh membuatnya ikut melihat kehadiran Rama lalu mendengus. "Lo ngapain?"

"Nyamperin sahabat gua. Kenapa?"

Bodo amat. Mau bertengkar situ silahkan. Aku sedang tidak mood meladeni keduanya jadi aku langsung pergi menuju toilet.

"Lo kebelet poop apa, Pril?"

Pertanyaan yang sontak membuatku hampir berteriak. 2 orang ini masih mengikutiku rupanya. "Kalian ngapain?! Pergi gak!"

Elang menggeleng. Ia malah melangkah mendekat membuatku menodongnya dengan tongkat pel-an yang aku pegang. "Lo jangan macam-macam ya, Lang!!"

"Siapa yang mau macam-macam? Gua mau bantuin lo."

Aku menatapnya heran. "Bantuin apa?"

Elang menunjuk alat-alat kebersihan di belakangku dan yang berada di tanganku. "Lo pasti dihukum bersihin toilet karena telat masuk kelas tadi, kan?"

Cenayang. Elang pasti cenayang karena tau hal ini. Aku bahkan tak bicara apapun padanya. Rama ikut mendekat dan langsung mengisi ember dengan air. Elang memegang sikat lalu mulai menyikat lantai. Aku memandang keduanya terharu. Disaat aku berpikir, aku sudah tak punya siapa-siapa ternyata aku masih punya 2 orang ini yang tetap berada di sisiku.

Aku mulai mengepel lantai yang sudah disikat Elang. Pekerjaanku jadi selesai lebih cepat karena dibantu mereka. Aku mengucapkan terima kasih dan hendak pulang ketika keduanya kembali menahanku.

Mereka mengajakku makan bakso. Makanan yang tidak akan pernah aku tolak. Rama bahkan menawariku untuk menambah porsi yang langsung kutolak. Yang benar saja, ini bahkan sudah mangkuk keduaku. Suka juga bukan berarti aku tidak enek harus terus menelan bakso.

Rama menatapku membuatku ikut menatapnya. "Kenapa?" Tanyaku sambil membersihkan sekitar mulutku. Apa makanku berantakan?

Rama menggeleng. "Yang diucapin bang Martin, gak usah dipikirin, Lan."

Sial. Aku bahkan sudah lupa hal itu kalau Rama tak mengingatkan lagi. Aku memijit kepalaku yang jadi pening. Elang disebelahku menyenggol pelan bahuku. "Emang Martin ngomong apa ke lo?"

Aku menelan baksoku susah payah. Menatap Rama yang pura-pura tak mendengar. Ia asik menelan baksonya ketika aku bingung harus merespon apa pada Elang.

"Pril,"

Aku menatapnya sejenak lalu tersenyum tipis. "Bukan apa-apa."

Kami selesai makan dan Rama pamit pergi duluan setelah aku memilih pulang bersama Elang. Aku hanya diam sambil memeluk Elang di sepanjang perjalanan. Rasanya lelah. Hari pertama dan aku sudah mulai lelah mendengar cibiran yang ditujukan padaku.

Menyimpan RasaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz