[6] Main ke rumah

999 77 0
                                    

Aku melipat kedua tanganku ketika bersandar di salah satu pilar. Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi tapi aku tidak langsung pulang karena harus menunggu Nadiya yang kini sedang di-potret oleh salah seorang adik kelas yang baru saja memberinya cemilan. Diam-diam aku kagum dengan Nadiya. Ia kan selebgram terkenal, selalu kebanjiran endorse, tapi dia tidak pernah mau dibayar jika yang meminta adalah warga sekolah kami. Ia hanya menerima barang atau cemilan tersebut tanpa meminta bayaran. Jadi, ketika ia memintaku menunggu karena hendak main ke rumahku setelah ini aku tak masalah. Merasa tak enak dengan kebaikan hati Nadiya, kulihat adik kelas itu memberikan beberapa bungkus lagi cemilannya sambil mengucapkan terima kasih banyak. Setelah urusannya selesai, Nadiya mendekatiku sambil menggerutu. "Itu anak emang gak rugi ya ngasih banyak gini?!"

Aku terkekeh. "Rezeki gak boleh ditolak," merebut beberapa dari tangannya. "Kalo gak mau, kasih gua kan bisa."

Nadiya ikut terkekeh. Dia menarik tasku. "Titip ya!" Kulihat ia memasukkan cemilannya ke dalam tasku lalu menutupnya lagi.

Kami berjalan keluar area sekolah. "Eh emang supir lo gak jemput, Nad?"

Nadiya menggeleng. "Udah gua sms kok tadi, jadi nanti minta jemputnya dari rumah lo aja."

Aku ber-oh ria. Beberapa anak yang masih berada di sekitaran sekolah menyapa kami, ah lebih tepatnya menyapa Nadiya. Aku menggandeng tangan Nadiya menuju gang di samping sekolah. "Lo jangan jauh-jauh, Nad. Ntar kalo ketabrak, gua yang harus tanggung jawab."

Nadiya tertawa. "Apaan sih lo? Kayak gua gak bisa aja jalan kaki."

Sampai di rumah. Aku mengajak Nadiya untuk makan dulu lalu menuju kamarku. Dengan semangat 45 seperti biasa, Nadiya kembali bercerita soal Elang. Padahal kalau kupingku tidak salah dengar, hal yang dibicarakan setiap hari selalu topik yang sama. Entah itu bagaimana agar Elang bisa digapainya. Bagaimana agar ia bisa berpacaran dengan Elang dan bagaimana-bagaimana lainnya. Aku hanya mengangguk, sesekali menguap karena bosan mendengar hal itu. Ketukan di pintu kamarku membuat aku menginterupsi Nadiya agar berhenti bicara. Aku membuka pintu dan menemukan Bunda yang memasang muka memelas. Pasti ada maunya. "Apa, Bun?"

"Tungguin depot dulu ya? Bunda ada urusan mendadak. Bentar lagi Mamang-mamang mau setoran. Kamu yang ngitungin, oke?"

Aku mengangguk lalu teringat Nadiya. "Eh bun kan ada Nadiya, masa April tinggal?"

Kulihat Bunda menepuk dahi tapi deheman Nadiya membuatku menoleh. "Gapapa, Pril. Tungguin aja dulu, apa mau gua temanin?"

Aku menggeleng. "Eh gak usah. Yaudah lo tunggu di sini aja ya, gua ke depot bentar. Terserah lo deh mau ngapain, mau tidur juga boleh."

Nadiya mengacungkan jempolnya lalu aku melangkah ke depot bersama Bunda yang segera pergi. Aku membantu mengisi galon-galon kosong yang hendak dibawa mang Dadang karena ada lagi yang memesan katanya. Beberapa orang juga ada yang datang sendiir membawa galon kosongnya membuatku tersenyum ramah saat melayani mereka. Usaha Ayah ini sukses juga ya, walau hanya isi ulang air mineral. Aku duduk ketika orang-orang dan mamang-mamang telah pergi mengantar galon. Hanya tersisa aku dan Mang Budi yang kulihat sedang mengipasi lehernya dengan topi miliknya. Aku terkekeh melihatnya. "Sini, mang!" panggilku menyuruhnya mendekat. "Deketin kipas sini." suruhku menunjuk ke kipas angin yang berdiri di belakangku.

Mang Budi tersenyum malu lalu mendekat. "Nanti neng kebauan loh."

Aku mengibas tanganku tak peduli. "Santai aja sama saya, mang." Aku menghitung setoran mang Budi hari ini. Banyaknya sesuai dengan galon yang ia antar hari ini. "Sip, mang. Pas ini." Aku tersenyum lalu mengangguk ketika ia mulai berpamitan pulang. Tugasnya hari ini sudah selesai.

Sementara itu aku harus masih di sini menunggu mamang-mamang yang lain kembali lalu menghitung pendapatan hari ini. Deruman motor membuatku berpura-pura sibuk dengan uang yang padahal sudah kuhitung tadi.

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now