[23] Pelampiasan

428 40 6
                                    

Apa Rama akhirnya merasa bersalah denganku? Hingga selalu mengikutiku padahal selalu ku abaikan.

"Lan,"

Langkahku yang hendak menuju perpustakaan terhenti. Rama kembali memanggil membuatku menghembuskan nafas gusar. Semoga ucapanku menyadarkannya. Aku menoleh. Mendapati Rama yang sumringah karena merasa aku sudah meladeninya.

"Lo manggil gua apa, tadi?"

"Bulan. Kan memang nama lo Bulan."

Aku terkekeh. Menggeleng, menatap Rama tak percaya. "Nama lengkap gua, April Adia."

Rama menatapku shock. "Tapi kan bulan itu seb--"

"Apa? Sebutan antara kita berdua?" Tanyaku membuat Rama mengangguk.

Aku berdeham, ingin menyebut Rama tapi seketika ingat. "Marcel, lo bahkan udah gak anggap gua sahabat lo. Jadi buat apa masih manggil gua sok akrab dan sok dekat begitu?"

Rama maju membuatku mundur. "Berhenti bertingkah seolah kita masih kenal dekat ya, Cel? Lo bahkan bukan teman gua sekarang."

Maaf, Rama.

Aku berbalik. Kembali melangkah menuju perpustakaan. Sebenarnya aku tak tega. Aku juga tak menyangka kenapa bisa kasar begitu tapi hatiku juga sakit. Apalagi jika berhadapan dengan Rama, aku selalu teringat ucapan dan makiannya padaku.

"Apa harus gua kasih applause buat 2 orang yang saling menyakiti?"

Aku mendengus. Hilang Rama, muncul Elang.

"Gua heran. Apa sekarang lo jadi gabut banget sampe kayaknya ngurusin gua mulu?" Sarkasku membuat Elang membuang muka.

"Kalo emang lo gak ada kerjaan, lo bisa belajar, Lang. Lo juga bentar lagi lulus."

"Gua udah pintar."

Bangke. Dia sombong.

Mengibaskan tangan tanda tak peduli, aku melewati Elang. Derap langkah dibelakangku membuatku menoleh dan terkejut. Elang masih mengikutiku.

"Lo ngikutin gua?"

"Gua mau ke perpus. Emang perpus tempat pribadi lo?"

Bener sih tapi kan, au ah ngeselin juga lama-lama ni anak.

Setelah mendapat beberapa buku yang hendak ku pelajari. Aku menduduki salah satu bangku kosong dan memasang wajah datar karena baru sadar yang duduk di hadapanku adalah Elang.

"Lo emang suka bikin gua kesel ya?"

Elang menggeleng. Tatapannya ke buku tapi ia bersuara. "Lo berdua bukannya nyelesein masalah, sekarang malah nambah-nambah masalah. Apa enak berminggu-minggu gak teguran? Hati lo pasti gak lega, kan?"

Aku mengangguk. "Bener. Gua selalu kepikiran tapi semua udah terjadi ya gua biarin aja," aku mulai fokus dengan buku.

Tak lagi mendengar suara Elang yang kupikir juga sedang membaca buku. Menatap ke depan, aku tersentak ketika sadar Elang memperhatikanku. "Lo ngapain?"

"Ngeliatin lo. Gak nyangka orang kayak lo bisa fokus belajar juga."

Aku mendelik. "Emang lo aja yang pintar? Gua juga mau kali jadi pintar biar dibanggain guru."

Apa aku belum kasih tau? Elang termasuk murid teladan kesayangan guru karena selalu mendapat nilai dan peringkat yang bagus tiap pembagian rapot.

Elang berdiri membuatku mendongak. "Semoga lo tetap fokus belajar sampai angkatan kita selesai ujian nasional."

"Ya iya lah."

Elang menatapku lagi lalu menyeringai. "Semoga fokus belajar lo bukan cuma sebagai pelampiasan."

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now