[17] Bad day

419 32 2
                                    

Aku bangun dengan lesu karena semalaman tidak tidur. Duh rasanya malas sekolah tapi nanti kena omel Bunda lagi.

"APRIL!!"

Tuh kan baru diomongin orangnya udah gedor-gedor pintu kamarku:(

"KAMU MAU BOLOS LAGI?!"

"Enggak, Bun. Ini April udah bangun kok."

"Yaudah jangan lama. Ini udah ditungguin Nadiya."

Mataku membelalak. Melirik jam weker yang menunjukkan pukul setengah 7. Tumben banget Nadiya ngajak bareng ke sekolah. Aku segera mandi dan bersiap-siap.

"Lo kok tumben rajin amat ke sekolah pagi-pagi?" Tanyaku ketika mendapati Nadiya yang ternyata sedang numpang sarapan.

Bunda memelototiku. "April."

Aku mengambil selembar roti tawar lalu mengoleskan selai coklat. "Kan April cuma nanya, Bun."

"Udah gak usah diheranin. Makan aja yang kamu mau, Nad."

Ucapan Bunda membuatku berpikir di sini yang anaknya siapa sebenarnya?

"Ada yang mau gua omongin sama lo, Pril."

"Kan bisa di sekolah."

Nadiya mengiyakan. "Tapi gua mau ngomong sekarang."

Aku menatap Nadiya yang sepertinya sungkan menatapku. "O..ke... Kita berangkat setelah lo abisin sarapan lo."

Aku bangkit menuju rak sepatu sambil menunggu Nadiya. Menerka sebenarnya apa yang mau ia bicarakan denganku?

"Mobil lo mana, Nad?"

"Gua tadi dianter supir. Gapapa kan kita jalan kaki ke sekolahnya?"

Aku tergelak. "Ya gapapa lah. Udah biasa juga guanya."

"Ehmm, Pril. Marcel ada cerita sesuatu sama lo gak?"

Aku menggeleng. "Gua sama dia lagi gak kontakan sih. Gak tau tu anak kayaknya galau banget lo tolak."

"Lo yakin cuma karena itu?"

Aku menoleh, menatap Nadiya yang sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa ada yang enggak gua tau, Nad?"

Nadiya menggeleng heboh membuatku makin penasaran. "Gak ada, Pril."

"So?"

"Lo tau kan gua orangnya gak pekaan dan gua nyesel banget baru peka sekarang makanya gua tolak dia."

"What do you mean?"

"Lo suka dia, kan?" Tembaknya membuatku menganga.

Berusaha mencerna maksud Nadiya hingga terbahak ketika sadar.

"Maksud lo, gua suka Rama? Sahabat gua sendiri?"

Ia mengangguk membuatku terkekeh pelan lalu menjitak kepalanya. "Sotoy lo."

Aku melangkah lebih cepat meninggalkan Nadiya yang kini menyejajarkan langkahku menuju sekolah. "Am i wrong?"

"Lo menilai gua suka dia dari mana?"

"Dari sikap lo selama ini?"

"Seriously? Emang sikap gua gimana?"

"Kalian kan nempel banget kayak double tape."

"Itu karena dia sahabat gua dari kecil."

"Gua emang bukan sahabat lo dari dulu tapi bukan berarti gua gak bisa mengenali lo, Pril."

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang