[20] Bang Martin

416 45 9
                                    

Aku melangkah begitu riang dengan sepatu roda menuju taman. Sesekali menengok ke belakang dan menjulurkan lidah pada Rama yang mengejarku dengan sepedanya.

"Jangan laju-laju Bulan! Nanti kamu jatuh!!"

Aku tak menghiraukannya dan terus bergerak dengan sepatu rodaku. Masih dengan sesekali menengok ke Rama hingga tak sadar sepatu rodaku menabrak sebuah batu berukuran lumayan besar yang membuatku jatuh dengan lutut dan sikut yang mencium aspal.

"BULAN!!!!"

Rama langsung turun dari sepedanya lalu berjongkok di hadapanku. "Kan aku bilang apa?! Jatuh, kan?!"

Aku yang sudah merasa sakit lalu dimarahi malah semakin menangis kencang membuat Rama kelabakan lalu meminta tolong seorang bapak yang kebetulan sedang jogging melewati kami.

"Pak, bisa minta tolong angkatkan teman saya ini ke bangku taman di situ?" Tanya Rama menunjuk sebuah bangku panjang.

Bapak itu mengiyakan karena pasti dia kasian juga dengan anak-anak kecil seperti kami.

Setelah aku duduk. Rama mengusap bahu dan air mataku. "Kamu tunggu di sini dulu ya. Aku mau ngabarin mama kamu."

Aku mengangguk lalu menatap Rama yang kini mengayuh sepedanya lagi.

Sikutku berdarah tapi lebih perih yang bagian lutut karena jatuhku memang langsung menghentak lututku. Aku menatap sendu sepatu rodaku yang pasti habis ini disita sementara oleh Bunda karena aku lalai memakainya.

"April, kok bisa jatuh sih sayang?"

Aku mendongak. Mendapati bunda yang kini berjongkok dan mengobati lukaku. Hal yang membuatku semakin menangis karena bukannya marah, bundaku malah membersihkan dan mengobati lukaku.

"Maaf, bunda."

"Maafin aku juga, Tante."

Bunda menatap Rama lalu mengusap kepalanya. "Kamu gak salah sayang. Justru Tante mau berterima kasih karena kamu dalam keadaan panik gini masih ingat buat ngabarin Tante soal April. Makasih ya, Marcel."

Rama mengangguk lalu tersenyum lebar. "Aku janji mulai sekarang sampai udah gede nanti, aku bakal ngejagain Bulan terus biar dia gak jatuh lagi, Tante."

Bunda tertawa. "Oke, Tante harap bisa percaya kamu, Marcel."

•••

Sekelebat ingatan masa kecil yang membuatku terkekeh miris. Bener juga ya, dulu Rama pernah janji buat jaga aku biar gak jatuh lagi tapi dia memang gak pernah janji buat gak ninggalin dan bikin aku nangis kayak sekarang.

Sudah 3 hari aku tidak bertegur sapa dengan Nadiya. Sudah tepat 10 hari, aku dan Rama lost contac. Rasanya hariku sepi, biasa 2 orang itu yang suka heboh mengajakku ke sana kemari. Dila memang tidak mendiamiku tapi dia hanya teman, beda dengan Nadiya bagiku. Hidupku jadi monoton. Sekolah, di kelas hanya belajar lalu tidur saat istirahat kalau aku sedang malas ke kantin. Ah iya, pola makanku juga jadi tidak teratur karena aku lebih sering malasnya daripada mengikuti perutku yang lapar. Tidak ada lagi yang memaksaku makan. Melarangku ini itu. Rasanya aneh, tapi aku harus gimana?

Perutku pedih lagi. Aku mengobrak-abrik isi tasku lalu tersenyum lega mendapatkannya.

"Lo mau minum itu lagi, Pril?"

Segera kumasukkan mulut dan meminum air di botol membuat Dila menghela nafas gusar.

"Magh lo bisa makin parah kalo lo cekokin promag mulu padahal makan aja kagak. Ntar sekalinya makan, makan geprek, makan yang pedas-pedas mulu."

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now