[18] Diary

440 40 16
                                    

Rama keterlaluan. Ini sudah tepat seminggu dia tidak mengajakku bicara dan kurasa ini sudah lebih dari cukup kalau alasannya karena Nadiya. Aku bahkan gak ada sangkut-pautnya dengan masalah mereka berdua kecuali...

Aku menepuk jidatku. Teringat percakapan singkatku dengan Nadiya. Dia kan membawa namaku. Apa jangan-jangan?

Buru-buru aku mencoba menghubungi Rama tapi tidak diangkat. Ini cowok emang kurang ajar banget. Gini-gini aku kan sahabatnya. Gak bisa dibiarin, aku harus ngajak dia bicara empat mata.

To : ke-RAMA-t

We need to talk. Gua tunggu di kafe biasa.

Read tapi tidak dibalas. Aku kembali mengetikkan pesan.

To : ke-RAMA-t

Gua bakal tunggu lo datang, Ram. Jadi jangan buat gua sampai diusir pegawai di sana.

Oke. Udah di-read. Aku bersiap-siap dan meminta tolong diantarkan oleh mang Budi yang kebetulan sudah selesai pekerjaannya.

"Makasih loh, mang. Udah nganterin." Kutepuk bahunya saat turun dari motor.

"Sama-sama, neng. Mamang tinggal ya."

Aku mengangguk lalu masuk ke dalam kafe. Meringis ketika melihat kafe ramai dengan pasangan kekasih karena ini malam minggu. Segera duduk, aku memesan pasta dan lemon tea. Kebetulan aku belum makan malam.

Melirik jam yang menunjukkan pukul 21.00. Aku menyenderkan tubuhku dibangku. Sudah setengah jam aku menunggu dan Rama belum datang. Apa memang tidak akan datang?

Beberapa pengunjung mulai pergi menyisakan beberapa meja dan tentunya mejaku juga yang masih ada orangnya. Menatap 3 gelas di meja yang sudah kandas isinya karena aku terus merasa haus dengan situasi ini.

"Sorry, lama." Kursi didepanku berderit. Diisi oleh Rama yang kini menatapku datar.

Aku menghela nafas lega. "Gua kira lo gak bakal datang, Ram."

"Gua gak setega itu ngebiarin lo nunggu berjam-jam."

Tapi tetep aja lo buat gua nunggu, Ram.

"Apa yang mau lo omongin?" Rama menatapku serius membuatku gugup.

"Lo marah ya sama gua?" Tanyaku membuat Rama mengernyitkan dahinya.

Aku mau membuka mulut lagi tapi tidak jadi ketika dia mulai bercerita.

"Lo ingat hari di mana lo gak turun sekolah?"

Aku mengiyakan membuat ia berdeham. "Lo tau kan apa yang udah gua rencanain waktu itu?"

Aku kembali mengiyakan. Rama menatapku. "Gua emang belum cerita ke lo tapi pasti Nadiya udah cerita kalo dia nolak gua ke lo, kan?"

Lagi aku mengiyakan ucapannya karena memang aku sudah tau soal itu.

"Apa dia juga cerita alasan dia nolak gua?"

"Karena dia suka Elang?" Tanyaku balik membuat dia terkekeh hambar.

"Gua tau soal itu. Waktu itu gua cuma coba peruntungan gua. Siapa tau dia mau move on dari ngejar Elang, kan? Tapi nyatanya bukan itu alasan yang dia pake, Lan," Rama mengetukkan jarinya di meja. "Kalaupun itu yang jadi alasannya, gua masih bisa terima tapi dia pake alasan lain yang gua mikirnya, ini gak masuk akal sih."

Jantungku berdegup kencang. Aku takut ini soal yang menyangkut diriku. Rama kembali menatapku. "Lan, lo tau kan kita udah kenal banget dari dulu. Lo itu sahabat terbaik gua selama ini. Lo pasti jujur kan kalo gua nanya?"

Menyimpan RasaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu