[12] Nadiya

625 45 4
                                    

"Lang, sekali ini aja, Lang."

Aku menoleh. Menatap pada Danu dan Zaini yang berjalan dengan Elang. Sebut aku penasaran, karena ingin tau apa yang dipinta 2 orang itu kepada Elang.

Kulihat Elang menggeleng. Danu menatap Elang heran. "Kenapa sih, Lang?"

Zaini mengangguk. "Emang lo bandar narkoba sampai takut banget kita ke rumah lo?"

Aku yang sedang makan cilok hampir tersedak mendengarnya. Elang berdeham sambil memakan gorengannya. Ngomong-ngomong ini sedang jam istirahat. Kebetulan meja yang kupilih bersama Nadiya berdekatan dengan meja Elang. Nadiya lagi pesen makan ketika aku malas makan berat dan hanya beli cilok.

"Anggap aja gitu."

Jawaban Elang sukses membuatku melotot. Jadi dia bandar narkoba?

"Lo kenapa, Pril?" Tanya Nadiya dengan suara yang besar hingga membuat Elang dan kedua temannya ikut memperhatikanku.

Aku menggeleng lalu memakan cilok berusaha mengabaikan tatapan mereka. "Ini ciloknya enak banget sih, Nad. Coba lo rasain deh." Ucapku membuat Nadiya tertawa lalu menggeleng pelan.

"Lo makan cilok kayak baru pertama aja. Lagian gua gak percaya lo melotot cuma karena ni cilok."

Kenapa harus lo perjelas sih Nadiya?

Aku memijat keningku. "Gua bangga aja kantin kita punya cilok paling enak sedunia."

"Ye alay banget lo, Pril." Nadiya terbahak. Ia menoleh lalu melambai pada Elang yang langsung dicie-ciein oleh teman-temannya.

"Lo gak mau nyamperin tu orang, Nad?"

"Ntar, gua harus isi tenaga dulu baru nyamperin doi."

Aku mencibir. Kembali makan cilok sambil menguping perbincangan 3 orang itu.

"Ya, Lang ya?"

Elang menggeleng. "Apa ada yang mau lo berdua liat di rumah gua?" Tanya Elang membuat keduanya antusias.

"Gua kan penasaran apa aja isinya rumah mewah lo itu, Lang." Sahut Zaini membuat Danu setuju.

"Pengen liat kamar lo yang luas dan isi-isinya."

"Isinya ya sama aja kayak kamar lo berdua. Gak ada bedanya."

"Serius deh, Lang. Kalo ujung-ujungnya lo tetep gak bolehin kita buat mampir, ya lo gak usah ngasih harapan gini."

Elang mengangguk. "Lo bener."

"Boleh kita tau kenapa lo gak pernah mau ajak gua dan yang lain mampir ke rumah lo selama ini? Hampir 3 tahun loh, Lang."

Elang mendengus. "Karena gak penting. Kalo kalian cuma mau nilai seberapa besar dan mewah rumah gua ya gak guna. Lagian apa yang harus gua pamerkan ketika semua kekayaan yang gua punya adalah milik ortu?"

Zaini mengangkat tangannya. "Fine. Gua tau. Gak usah lo, kita semua juga gitu. Yang kita punya asalnya ya dari ortu. Tapi kenapa ya gua ngerasa lo seperti nyembunyiin sesuatu selama ini? Sesuatu yang sangat tertutup sampai lo gak pernah bawa siapapun teman di sekolah ini ke rumah lo?"

Kulihat Elang sempat diam sebelum meminum coca-colanya. "Karena gak semua hal harus diketahui semua orang. Gua sama kayak yang lain. Punya rahasia yang akan tetap jadi rahasia selamanya. Kalo lo punya rahasia, apa lo bakal bongkar ke orang lain?"

Danu dan Zaini menggeleng. Elang berdiri setelah membersihkan mulutnya dengan tisu. "Gua ada rahasia yang gak mau siapapun tau karena gua udah ngejaga rahasia itu sangat lama. Maaf kalau kesannya gua sombong tapi gua harap dengan ngomong ini kalian ngerti batasan-batasan kalian. Teman gak perlu mengurusi dan pengin tau rahasia teman yang lain. Gua duluan."

Menyimpan RasaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant