[30] Talk

523 52 11
                                    

Tiba-tiba aku teringat ucapan Rama. Awalnya aku tidak merasa karena aku hanya sebatas perantara Nadiya dan Elang tapi kalau dipikir-pikir ya bener sih, sejak Elang selalu menerima pemberian Nadiya. Sejak itu pula aku semakin dekat dengan Elang. Nadiya bahkan harus menanyaiku dulu Elang sukanya apa karena selama dengan Elang, aku selalu mengorek info sedikit demi sedikit.

Tapi dekatnya kami hanya sebatas itu. Bukan dekat dalam hal lain. Makanya sekarang saat Elang mengajakku bertemu, rasanya jadi aneh. Biasanya aku yang nyamperin  Elang dengan pemberian Nadiya tapi sekarang Elang yang ngajak ketemuan. Dia tidak tau saja hatiku jadi merasa bimbang dan gelisah. Diiyain, berasa aku ngekhianatin Nadiya. Ditolak, kan akunya yang jadi penasaran.

Okelah. Sekali ini biar aja. Mungkin memang ada sesuatu penting yang mau Elang omongin. Aku mengiyakan ajakan Elang dan bergegas menuju taman dekat rumahku.

"Pril."

Aku mengusap dadaku. "Bunda bikin kaget deh."

"Masa dipanggil aja kaget sih?"

Aku menyengir. "Kenapa, Bun?"

"Kamu mau ke mana?"

"Mau keluar sebentar, Bun."

"Loh mau keluar sama Marcel?"

"Hah? Rama?"

Bunda mengangguk. "Tuh anaknya lagi ngobrol sama Ayah kamu."

Duh, kenapa anak itu muncul tiba-tiba?

Aku menyalimi tangan Bunda lalu Ayah yang sedang main catur bersama Rama. "Yah, April keluar dulu, ya?"

Ayah menatapku heran. "Loh masa kamu tinggalin Marcel di sini, Pril."

Aku diam. Bingung harus menjawab apa hingga deheman mengalihkan perhatianku.

"Lo mau ke mana, Lan? Biar gua antar."

Aku melempar senyum tipis. "Makasih tapi gak perlu," aku menatap Ayah dan Bunda lalu pamit keluar dari rumah.

Kalau diingat-ingat, jahat juga ya aku sama Rama. Sudah berapa bulan kira-kira aku mengabaikan anak itu?

Ah biar saja. Aku masih sakit hati ngomong-ngomong. Biar ini jadi pelajaran buat dia gak gampang ngucap hal menyakitkan terutama ke aku yang tingkat sensiannya tinggi.

Aku berjalan kaki karena tamannya memang dekat sekali dari rumahku. Dekat rumahku ehhh kok aku baru sadar? Emangnya Elang tau rumahku? Iya sih, rumahku di gang sebelah sekolah kami tapi kan anak itu gak pernah main ke rumahku.

Hpku  bergetar. Elang mengirimkan pap kakinya yang menampakkan sedikit bangku taman. Dia sudah sampai ternyata. Taman lumayan ramai karena sekarang tepat malam minggu. Eh bangke, kenapa aku baru sadar anak itu mengajakku bertemu malam minggu?

Aku sudah melihat keberadaan Elang. Lelaki itu nampak memainkan ponselnya sebelum aku datang dan berdiri di hadapannya.

Aku melipat tangan, menatapnya penasaran. "Lo mau ngomong hal penting apa?"

"Duduk dulu." Tangannya menepuk sisi bangku di sebelahnya.

Aku menurut karena sudah sangat penasaran. "Apaan, Lang?"

Elang melirikku sekilas lalu pandangannya lurus ke depan. "Udah berapa lama lo bantuin temen lo deketin gua?"

Tentang Nadiya ternyata.

Aku berpikir sejenak, menyandarkan tubuhku sambil menatap langit malam. "Udah sekitar 2 tahunan," aku menoleh menatapnya yang kini terpejam. "Emang kenapa?"

"Selama 2 tahun itu menurut lo apa yang Nadiya mau udah didapet apa enggak?"

Aku menggigit bibirku. "Sekarang ada kemajuan, kan? Buktinya lo selalu nerima pemberian dia. Gak nolak lagi kayak dulu."

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now