[34] Penasaran

376 48 22
                                    

Aku menggigit coklatku sambil memperhatikan orang yang sedang mengusap rambutku. "Lo kenapa deh, bang?"

Bang Martin menatapku sejenak lalu menggeleng. "Kangen aja gua sama lo. Perasaan lama banget baru lo ke sini lagi. Itupun gua harus nyuruh Marcel turun tangan dulu jemput paksa lo."

Aku tergelak. Bahasanya drama sekali. "Lo kan bisa nyamperin gua langsung, bang."

"Iya beberapa kali juga gitu tapi lo nya yang gak ada di rumah mulu. Lo sibuk beneran, ya?"

Aku terdiam lalu tersenyum tipis. "Lo kan tau bentar lagi gua lulus. Gua lagi fokus belajar dan sibuk nyari univ yang cocok ni."

Bang Martin mengangguk. Menyandarkan kepalaku dibahunya. Ngomong-ngomong aku sekarang berada di rumahnya. Kami sedang asik menonton televisi ketika ku lihat Rama merapikan rambutnya. Merebut coklat ditanganku membuatku mendengus.

"Lo mau keluar, Cel?" Tanya Bang Martin yang diangguki Rama.

Rama mengembalikan coklatku setelah berhasil menggigit sedikit. "Gua mau jalan sama Nadiya. Lo mau ikut, Lan?"

Aku menggeleng. "Emang siapa yang mau jadi obat nyamuk?"

Rama terkekeh. Mengacak rambutku. "Kan biasanya juga gitu."

Aku melotot. Hampir melemparkan sendalku kalau saja Rama tidak buru-buru pamit pergi menyisakan aku dan bang Martin.

"Kontak bego di hp lo siapa sih?"

Kenapa semua orang jadi penasaran sama bego? Eh maksudnya sama Elang.

Beruntungnya aku, Elang tidak memajang foto apapun untuk ava wa-nya sehingga tidak ada yang tau itu kontaknya selain aku. Elang juga pernah bilang, kalau yang punya nomornya hanya aku dan beberapa teman dekatnya, jadi Rama pun gak punya karena mereka tidak termasuk dalam kategori teman dekat.

Aku masih asik menggigiti coklatku. Menegakkan tubuhku dan duduk menyerong menghadap bang Martin. "Kenapa kepo?"

Bang Martin mengendikkan bahunya. "Mau tau aja. Itu cewek apa cowok?"

Aku memilih menutup mulut. Mengancam akan pergi kalau bang Martin masih bertanya-tanya. Ia mengembalikan hpku dengan wajah merengut.

"Lo sampe lock akun wa lo, Pril. Segitu misteriusnya itu orang."

Aku mengangguk saja. Memilih menyodorkan coklat yang langsung di lahap bang Martin. "Daripada ngepoin gua mulu mending lo cari cewek sono, bang. Coba lo contoh semangatnya adek lo tuh yang maju terus pantang mundur deketin temen gua."

Bang Martin menyandarkan tubuhnya lalu menaikkan salah satu kakinya ke atas meja. "Ngapain nyontoh orang sinting?"

Aku menjitak kepalanya. "Adek lo tuh yang lo katain, bang."

"Ya habis. Udah tau ditolak mentah-mentah masih aja maju terus. Lagian gua gak suka sama cewek itu. Udah jelas gak suka tapi sikapnya kayak ngasih harapan ke Marcel."

Aku tidak bisa berkomentar apa-apa karena wajah bang Martin yang serius saat mengucapkannya. Kami diam, kembali menonton tv sampai hpku berdering. Elang menelpon.

"Halo?"

"Di mana?"

"Kenapa?"

"Pril, ditanya bukan buat balas bertanya."

Aku terkekeh. Memilih sedikit menjauh dari bang Martin yang sudah memasang wajah penasaran. Dasar kepoan.

"Kenapa sih? Kangen?"

"Iya."

Eh sial. Bisa banget jawab singkat tapi buat hati ini langsung dag dig dug.

"Lo gak ada di rumah lo."

Menyimpan RasaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora