[24] Impas?

420 38 8
                                    

"Ayo ke lapangan, Pril!" Dila menarik tanganku yang menolak ajakannya.

"Malas."

"Ih kapan lagi coba lo liat selebgram yang rela jatohin harga dirinya buat nembak cowok gitu."

Aku menatap beberapa temanku yang heboh dan ikut keluar dari kelas. Sekarang waktunya istirahat kedua dan bukannya ke kantin. Mereka semua memilih pergi ke lapangan untuk menyaksikan momentum langka katanya.

"Lo aja sana, gua mau belajar."

"Please lah, Pril. Nilai lo udah naik akhir-akhir ini tapi lo masih aja pacaran sama buku sampe ngabaiin semua orang di sekitar lo."

Aku menatap Dila sekilas lalu terkekeh. "Lo mau bilang hidup gua boring, kan? Yaudah sana cari teman yang gak membosankan kayak gua."

"Nah ini juga," Dila menatapku jengkel. "Lo juga sekarang sensian dan gampang kesinggung tiap gua ngomong."

Aku berdeham. "Makanya jangan ngomong sama gua. Gua bukan orang yang cocok jadi teman lo."

Dila mendengus lalu beranjak pergi ketika dirinya diseret oleh seorang teman sekelas kami.

Niatku memang fokus belajar tapi aku juga jadi penasaran karena sekarang kelas hanya tersisa aku dan beberapa anak kelas yang memilih tidur dibanding keluar. Aku melangkah keluar dan menatap lapangan yang sudah dikerumuni oleh siswa-siswi kelas lain. Melangkah maju, aku menyisipkan tubuh yang untungnya mungil jadi bisa melewati kerumunan orang-orang ini dan bisa melihat jelas Nadiya yang sedang memegang sebuah kotak kado yang entah isinya apa.

Hebat. Anak itu semenjak tidak berteman dan meminta tolong padaku, dia bisa ngasih sendiri hadiah dan bahkan berani nembak Elang depan umum begini. Aku melipat tangan, memperhatikan keduanya yang kini jadi pusat perhatian. Pandanganku sempat menangkap keberadaan Rama yang sepertinya juga penasaran dengan apa yang akan terjadi.

Sepertinya aku melewatkan sesi pengungkapan hati Nadiya karena sekarang yang kudengar adalah seruan heboh para siswa untuk Elang.

"TERIMA, TERIMA...."

"TERIMA ELAH, LANG. BENING TU."

"Gila lo, Lang kalo sampai nolak Nadiya."

"Lo bukan teman gua sampai nyia-nyiain Nadiya, Lang."

Aku tersenyum tipis. Nadiya dengan semua orang yang menyukainya dan Elang, cowok yang okelah masuk deretan yang dikagumi siswi sekolah ini.

2 orang yang mungkin jadi pasangan fenomenal kalo sampe beneran jadian. Aku tidak bisa melihat wajah Nadiya karena posisinya membelakangiku tapi Elang sepertinya melihatku. Aku sempat membuang muka lalu menatapnya lagi. Kenapa cowok itu masih menatapku?

Aku melemparkan seringaian lalu berucap tanpa suara. "terima."

Kulihat tatapan Elang yang semula seperti bertanya menjadi datar. Heran, kenapa dia menatapku seperti itu?

Sorakan semakin menjadi ketika Elang menerima kado dari Nadiya. Aku ikut shock lalu tercengang ketika Elang maju mendekat ke Nadiya lalu membisikkan sesuatu yang gak bisa aku dan semua orang dengar. Mungkin memang Elang menerima Nadiya, kan?

Tapi mengapa kulihat bahu Nadiya bergetar dan apa itu? Kenapa Elang mengembalikan kado tadi ke tangan Nadiya? Apa ia menolak Nadiya?

Rama menatap Nadiya kasian. Ia mendekat dan membawa Nadiya ke pelukannya. Aku melangkah mundur lalu pergi dari kerumunan orang yang bersorak kecewa.

Sungguh. Tontonan yang tidak seru. Aku pergi ke toilet untuk mencuci muka yang rasanya sudah mulai mengantuk. Mungkin efek selalu begadang belajar.

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now