[36] Sebenarnya

390 52 9
                                    

Sudah kuputuskan. Hari ini aku akan berbicara jujur dengan Nadiya. Sebenarnya masih ada ketakutan dalam diriku tapi apa yang diucapkan Rama benar dan aku juga mendapat dukungan dari Elang. Aku memulai dengan mengajak Nadiya jalan setelah pulang sekolah. Aku akan mengajaknya makan. Nadiya menyuap makanannya dengan pelan ketika aku terburu-buru karena lapar. Heran padahal di sekolah tadi sudah makan tapi perutku belum kenyang juga. Memang hebat perut karet ini.

Nadiya menatapku sambil senyum-senyum membuatku bergidik ngeri. "Nad, lo masih normal kan?"

Nadiya memutar bola matanya. "Gua cuma pengin ngomong sesuatu yang mungkin lo bakal seneng dengernya."

Ternyata Nadiya juga mau menyampaikan sesuatu padaku. Kami selesai makan, aku baru membalas wa Elang dan tiba-tiba ingin pipis. "Gua ke wc dulu, Nad."

Tak menunggu jawaban Nadiya, aku langsung berlalu ke toilet. Sempat berkaca setelah dari wc dan mau melihat balasan Elang lagi ketika sadar aku tidak membawa hpku. Hpku berarti masih di .... Aku merutuki diri sendiri, melangkah cepat kembali ke meja yang masih ditempati Nadiya. Tanganku yang hendak menepuk bahunya terhenti di udara ketika tau Nadiya memegang hp dan sedang membaca chat-ku dengan Elang.

"Nad,"

Nadiya meletakkan hpku lagi. Aku kembali duduk di depannya dengan kaku. Nadiya menatapku tajam. "Kontak 'bego' itu Elang?"

"Nad, gua bis--"

"Tinggal jawab iya atau bukan?!"

Aku menunduk. Memilin ujung seragamku. "Iya."

Nadiya terkekeh membuatku mendongak. Ia meminum jusnya lalu menyiram sisanya ke wajahku. Para pengunjung lain menatap kami terkejut. Aku terdiam, terkejut dengan tindakannya tapi aku sadar diri, aku memang salah. Nadiya berhak melakukan apapun padaku.

"Kenapa diam?!"

Aku tak berani menatapnya. "Karena gua emang salah."

Aku tak berniat membersihkan diriku. Mendongak ketika mendengar suara tangisan. Nadiya menangis dan itu karena ulahku.

"Kenapa lo tega sama gua, Pril?!"

"Nad, maaf."

"Kalo emang lo masih dendam sama gua lo bisa pakai cara lain, Pril. Bukan cara begini." Tangisnya makin jadi membuat semua orang makin memperhatikan kami.

"Lo yang gua taunya selama ini ngedukung gua, ngebantu gua deketin Elang. Lo juga yang ternyata nusuk gua, lo jadian sama orang yang gua kejar-kejar selama ini. Pril, lo jahat, Pril."

Aku maju. Mendekat dan berlutut di hadapannya. Ikut menangis karena aku juga sadar kelakuanku tidak akan termaafkan. Nadiya baik kepadaku tapi aku membalasnya begini. "Sorry, Nad. Tapi gua juga suka dia."

Nadiya menepis tanganku yang menggenggam tangannya. "Lo pasti sadar, beberapa kali gua curiga tapi lo selalu ngelak. Lo selalu berhasil bohongin gua dengan cara menunjukkan dukungan lo. Lo sejahat itu nipu gua, Pril. Are you my friend?"

Aku mendongak. Air mataku semakin berlinang mendengarnya bertanya seperti itu.

"Nad, kita tem--"

Nadiya mengangkat tangannya. "Jangan sebut lo temen gua lagi." Ia berdiri, merapikan roknya lalu pergi meninggalkanku yang dibantu beberapa orang.

•••

Bang Martin menjemputku. Ia terkejut melihat penampilanku yang berantakan. Aku sengaja memintanya karena tak mau Rama atau Elang banyak tanya kalau aku minta tolong anak 2 itu.

Menyimpan RasaWhere stories live. Discover now