1

2.1K 67 1
                                    


Rindu Larasati, seorang novelis terkenal yang kini tinggal di Queens, New York memandangi layar komputer. Rindu melemaskan jemarinya yang mulai terasa kaku setelah berjam-jam menari-nari di atas keyboard. Sesekali Rindu mengernyitkan dahinya, kemudian memaksakan jemarinya yang masih terasa pegal untuk kembali menari-nari di atas keyboard untuk mengedit tulisannya.

Rindu menatap layar laptop. Kali ini jemari Rindu beristirahat. Rindu sibuk membaca rangkaian kata yang telah berhasil di susun oleh jemari-jemari kecilnya. Demi memastikan tidak ada ejaan huruf yang salah.

"Done!" teriak Rindu dalam hati. Rindu tersenyum simpul, dengan cekatan tangan memainkan mouse untuk mengarahkan kursor menuju pojok kiri atas. Menyimpan rapi dokumen elektroniknya sekali lagi.

Rindu meregangkan otot-ototnya yang menegang, menyandarkan diri ke kursi diikuti perasaan lega. Perempuan tiga puluh tahun itu mendorong kursinya menjauh dari meja kerjanya, bangkit dari kursi, kemudian menyingkap gorden berwarna biru. Jendela berteralis besi yang memang berada di depan meja kerja itu dibukanya.

Dari tempatnya berdiri, Rindu bisa melihat bagaimana sang matahari yang baru beberapa menit lalu menatap bumi dengan angkuhnya tepat di puncak, tiba-tiba meredup karena terhalang awan. Langit menjadi mendung. Matahari tak kuasa lagi memancarkan sinarnya kala awan cumulonimbus menutupi pandangannya. Ia pun mempersilakan hujan menjatuhkan diri untuk satu rintik pertamanya. Kemudian disusul dengan rintik kedua, ketiga, dan seterusnya. Hujan. Begitu menyejukkan. Meski, Rindu tidak mencium bau tanah yang menyeruak dan menyusup masuk ke dalam penciuman Rindu saat hujan di tanah kelahirannya.

Ada semilir angin yang menghembus dari jendela terali besi. Angin itu seperti dikirim dari seseorang yang tengah ditelan kerinduan. Rindu membiarkan angin yang berhembus lembut, mempermainkan rambut panjangnya hingga menjuntai-juntai menutupi wajah cantiknya.

Perempuan itu masih menatap jauh keluar jendela. Rindu enggan bergeming dari tempatnya berdiri. Menatap setiap rintik hujan yang semakin menderas dan kemudian mereda menyisakan gerimis. Kini, hujan telah sempurna reda. Namun, sisa hujan masih tetap terasa. Lembab. Dingin. Hanya satu sisa yang kurang, pelangi. Rindu menatap jendela, menanti pelangi muncul sebagai sisa hujan yang selalu dinantinya.

Rindu ingat persis bagaimana waktu kecil dahulu ia suka sekali berlari sambil bertelanjang kaki ke tanah lapang selepas hujan, hanya untuk melihat pelangi dengan bebas. Rindu tak peduli dengan tanah becek yang mengotori kaki-kaki kecilnya.

Beranjak besar, bukan berarti Rindu kehilangan keriangan saat melihat pelangi. Rindu memang tidak lagi berlari-lari di tanah lapang yang becek demi bisa melihat pelangi. Rindu hanya duduk di loteng rumahnya sembari menatap langit.

Semenjak Rindu tinggal di New York bersama lelaki bule yang menikahinya, Steve Martinez. Rindu merindukan sensasi hujan seperti di Indonesia. Rindu tak pernah mencium harum tanah basah yang khas ketika hujan menyentuh permukaan tanah untuk pertama kalinya. Bahkan Rindu kesulitan melihat pelangi karena tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit.

Tanpa sadar bulir bening air matanya jatuh membasahi pipinya. Rindu pun segera menghapusnya. Rindu menatap jendela lagi. Pelanginya belum terlihat.

Rindu masih menatap jendela, menunggu saat-saat pelangi datang. Senja sepi kian beranjak merajai sore. Perlahan gelap pun menyelimuti langit. Dan gelap pun semakin pekat. Namun, sisa hujan masih terasa dingin.

Tanpa pelangi. Rindu masih menanti. Hingga akhirnya Rindu merasa lelah sendiri. Rindu menatap langit dari jendela berteralis besi yang terbuka lebar untuk ke sekian kalinya. Hingga akhirnya Rindu memutuskan untuk menutup jendelanya.

Rindu menatap langit lagi, memastikan bahwa dia tidak melewatkan pemandangan indah sang pelangi. Namun hingga senja benar-benar berganti gelap, pelangi tak juga muncul. Rindu pun menutup jendelanya dengan korden.

Rindu pun berjalan gontai menuju meja kerjanya. Jemari tangannya meraih mug berisi teh tarik yang telah mendingin. Rindu menyeruput teh yang sudah tinggal sedikit. Membiarkan rasa khas teh tarik menyeruak ke tenggorokannya. Manik matanya menatap layar komputer dengan malas. Masih banyak yang harus dia kerjakan namun rasa kantuknya tak terelakkan. Kepalanya lantas berpaling pada ranjang yang berada di sudut ruangan. Seprai biru mudanya seakan melambai.

"Sial!" Rindu mengerang.

Dia tidak boleh tidur sekarang. Dia tidak boleh menunda tugas-tugas itu lagi jika tak ingin bebannya bertambah. Rindu memasangkan earphone di telinganya, berharap benda itu bisa mengusir rasa kantuk yang menderanya. Lagipula beberapa menit lagi azan maghrib berkumandang. Dia tidak ingin tidur sebelum maghrib. Bahaya! Bisa bablas sampai menjelang subuh.

Dengan penuh perjuangan, perempuan itu kembali menatap layar komputer. Mengadukan jemarinya dengan keyboard. Mengabaikan rasa kantuk dan lelah yang bersarang di tubuhnya.

Konsentrasinya kembali buyar saat ponselnya berdering. Seseorang menghubunginya. Melepas earphonenya dengan malas, Rindu lantas menjawab telepon tersebut tanpa melihat layar handphone-nya dahulu.

"Halo....." Rindu dengan malas.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh beloved..." Suara pemuda di ujung telepon, membuyarkan rasa kantuk Rindu.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Cinta."

"How are you doing? Is Bara sleeping?"

Rindu tersenyum, "Alhamdulillah baik. Sudah hampir dua jam Bara akhirnya tidur. Makanya aku bisa membuka laptop. Kamu pulang jam berapa sayang? I miss you...."

"I miss you too, beloved. Kamu masak apa?"

"Belum masak...."

"Kamu mau makan apa? Nanti kubelikan dalam perjalanan ke rumah?"

"Kamu mau makan apa? Aku ikut saja. Kalau kamu mau nasi goreng special. Nanti aku masakin special untukmu." Tawar Rindu pada Steve kekasihnya.

"Ok, bungkus! Aku on the way home yahhhh."

"Sip..."

"I love you....Assalamualaikum"

"I love you too Steve...Waalaikumsalam..." lirih Rindu, namun sayang telepon sudah ditutup. Tiba-tiba rasa kantuk luar biasa yang tadi menyerangnya, lenyap begitu saja. Rindu pun memilih menutup file-nya sebelum mematikan komputernya.

Azan maghrib telah berkumandang. Rindu ingin segera mandi kemudian solat sebelum menyambut suaminya pulang ke rumah. Rindu ingin memasakkan nasi goreng special untuk makan malam mereka berdua.


sayang

Aku merindukanmu

Dalam perjalanan pulang

ANGIN RINDU (Completed)Where stories live. Discover now