96

308 19 0
                                    

Angin Topan membiarkan kamarnya gelap gulita. Dia duduk di kursi dengan tangan kanan menopang kepala dan kaki kanan bertekuk menopang tangan kanannya. Matanya terpejam rapat. Putus asa karena tak mampu menahan bayangan-bayangan mengancam akan meluruhkan dinding batinnya.

Masa lalu, entah bagaimana dalam semua warna dan kecemerlangan, bagai mimpi buruk yang tak henti-hentinya mendera. Seolah-olah ini adalah tahun terakhir hidupnya. Wajah Ibu Rindu, guru mengajinya ada di mana-mana di setiap khayalan dan pikiran waras. Dia menyerah, membiarkan adegan demi adegan menari-nari di depan matanya yang mengatup rapat dan diakhiri dengan bayangan saat Rindu tertawa lepas di depan matanya beberapa tahun silam. Tubuhnya dialiri perasaan aneh yang menyelinap tanpa permisi dalam hatinya. Angin merengkuh tubuhnya sendiri, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa, dan berusaha mengenyahkan semua pikiran dan bayangan yang menjeratnya.

"Seharusnya aku tak perlu mengambil hati semua kebaikan ibu Rindu. Seharusnya aku tak perlu jatuh cinta kepadanya." Gumam Angin dalam gelap.

Seakan tidak hilang dari ingatan ketika beberapa hari lalu Steve, lelaki bule yang ternyata suami Rindu mengatakan yang sebenarnya tentang Rindu dan hubungan mereka berdua. Angin menyesal telah berprasangka buruk pada Steve. Angin bahkan sempat membenci Steve yang seperti hendak merebut Rindu-nya.

Angin tahu diri, bagi Rindu mungkin dia hanyalah salah satu dari sekian banyak muridnya yang mencintainya. Dirinya hanya angin lalu bagi Rindu. Namun rasanya sulit dipercaya bila Steve adalah kekasih Rindu.

Angin masih bisa menerima bila Rindu lebih memilih lelaki sholeh macam Ustadz Fajar ketimbang dirinya yang cuma bocah kencur. Namun Steve adalah mimpi buruk.

Bukan karena Steve adalah pria yang buruk. Dari sorot matanya, Angin yakin Steve sangat mencintai Rindu. Lagipula cinta mereka telah dianugerahi seorang Bara. Tetapi karena Angin takut, takut sekali bila ia harus kehilangan Rindu untuk selama-lamanya bila Steve jadi memboyong Rindu bersama Bara. Tak bisa melihat Rindu lagi, meski hanya dari jarak teraman adalah hal yang mengerikan bagi Angin saat ini. Itu pula yang membuat Angin berupaya untuk selalu datang mengaji. Demi melihat secuil senyuman dan mata teduh Rindu.

Satu jam kemudian, Angin merangkak naik ke ranjang. Betapa dia sangat merindukan ranjangnya setelah bermalam-malam merasakan ketidaknyamanan. Dia menepuk-nepuk dan membalikkan bantal lalu membenamkan wajahnya ke sana. Dia berusaha keras mengenyahkan semua bayangan buruk yang ada di pikirannya.

Dia bukannya tidak sadar bahwa keadaan ini pasti akan terjadi cepat atau lambat. Dia harus menelan pil pahit karena yang menghalangi cintanya bukan hanya karena perbedaan usia tetapi juga karena dirinya tak pernah ada di hati Rindu.

Rindu akan tetap menjadi bayang semu. Cintanya pupus entah ke mana. Dia mempersiapkan jiwanya untuk hal itu dan segala kemungkinan terburuk lainnya. Tapi, mengapa dia masih merasa hembusan napasnya tersedot keluar dari raganya? Meninggalkan erangan yang amat pilu. Dia tahu, Rindu tidak akan pernah menjadi miliknya sampai kapan pun.

Beberapa saat kemudian, dia terduduk tegak dan kaku di atas ranjangnya. Dia menatap jam dinding. Sudah pukul dua pagi. Dia benar-benar tidak bisa terlelap sedikit pun. Pikirannya melayang entah ke mana. Kepada Rindu dan pengakuan Steve.

Sudah sepatutnya Angin membantu Steve untuk mendapatkan cinta Rindu kembali. Bila mengembalikan ingatan Rindu adalah hal yang musykil. Setidaknya ia bisa membantu Steve dan Rindu agar bersatu kembali. Walau konsekuensinya mungkin suatu saat, waktu itu akan tiba, ketika Rindu benar-benar pergi untuk selama-lamanya dari hidupnya.

"Ya Allah, tolonglah aku!" Angin kembali meratap pilu. Bibir keringnya bergetar.

Setelah berwudhu, dia menunaikan shalat malam. Dia percaya pada Allah. Hanya kepada Allah, dia akan memperoleh kedamaian di ruang batin yang sempit. Dia paham ini adalah ketetapan Allah.

Ketika berdiri di atas sajadah, Angin berusaha setengah mati untuk berkonsentrasi, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah melafazhkan bacaan dengan khusyuk. Tidak ada satu rakaat pun yang terlewatkan. Saat memusatkan pikiran itulah, Angin berhasil melupakan Rindu. Ketika tiba saatnya melafazhkan doa, dia mengangkat kedua tangan di depan wajahnya yang pilu. Dia memohon dengan sepenuh hati. Dia berharap agar rasa cintanya kepada Rindu yang sudah melampaui batas segera dilenyapkan. Air matanya mengalir deras. Dia tak peduli lagi pada harga diri seorang laki-laki yang tak boleh menangis karena wanita. Saat itu, hanya ada dia dan Allah. Tidak ada yang lain.

Terkurasnya energi membuat Angin mengakhiri doa. Dia beranjak dari sajadahnya dan duduk di tepi ranjang. Dia membuka kitab suci dan membaca beberapa ayat untuk melegakan hatinya dan gundah gulana tak tentu arah.

Angin dapat berdamai dengan dirinya sendiri. Dia terjaga ketika sang ibu berteriak-teriak membangunkannya yang harus sekolah.

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang