99

345 20 0
                                    


Hampir tidak ada yang menyadari ketika Rindu menyelinap diam-diam meninggalkan villa, setengah jam setelah rombongan Rumah Quran Ar Rahman tiba di rumah kayu itu. Masing-masing orang sibuk dengan tugasnya. Ada yang mulai sibuk untuk menyiapkan makan siang mereka, ada yang sibuk membersihkan rumah kayu agar nyaman untuk ditinggali ada juga yang memilih leyeh-leyeh di pinggir kolam ikan sambil mengunyah camilan yang mereka bawa.

Rindu memang sengaja menyelinap keluar dari villa untuk mencari tempat sunyi yang nyaman untuk murojaah. Sebetulnya Rindu bisa saja murojaah di villa, namun ia tak enak hati dengan orang-orang yang sedang sibuk.

Ketika Rindu berjingkat keluar diam-diam, Angin kebetulan sedang mengamati keadaan sekitar villa sambil menunggu Steve. Ia pun tergoda mengikuti Rindu.

Setelah Angin merasa, jaraknya dengan Rindu sudah cukup aman. Ia pun beranjak untuk membuntuti Rindu.

Meski Rindu belum pernah mengunjungi tempat itu sebelumnya. Rindu tak canggung untuk berjalan sendirian menikmati sejuknya udara di tengah-tengah perkebunan teh di pegunungan. Meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, terik sinar matahari jelang siang yang terang benderang tidak mampu mengusir hawa dingin pengunungan pergi.

Sejauh mata Rindu memandang, hanya tampak hamparan daun teh yang menghijau di bawah kaki gunung Mas yang diselimuti gulungan awan putih. Semilir angin gunung berembus perlahan menggoyang daun teh dan bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitarnya.

Di tengah hamparan kebun yang menghijau, tampak perempuan-perempuan pemetik teh sedang bekerja. Di kepalanya bertengger caping bambu untuk menahan jilatan matahari. Mereka juga melumuri muka dengan bedak beras agar kulit wajah aman dan tidak terbakar matahari. Di pinggang mereka terpasang lembaran karung plastik yang telah dimodifikasi menyerupai celemek, dan di punggungnya tergantung sekantung karung plastik tempat menampung daun teh yang telah dipetik.

Sambil berjalan beriringan menuju lokasi teh yang akan dipetik daunnya, mereka menyanyikan lagu atau yel-yel sukacita sebagai pendorong semangat bekerja. Sebagian lagi ada yang tengah bergerombol mengumpulkan karung-karung berisi daun teh yang telah dipetik. Sementara beberapa perempuan lainnya tampak asik menyembul dan menghilang di antara hamparan pohon teh. Mereka tampak asyik memetik daun teh di perkebunan.

Rindu tersenyum menatap pemandangan langka baginya itu. Ia terus melangkah menaiki perbukitan. Gamis dan hijab panjangnya tidak menghalangi langkahnya yang lincah untuk mendaki. Wajahnya malah makin sumringah ketika ia sudah ada di puncak.

Matanya berbinar menatap ke bawah, hamparan kebun teh, rumah-rumah penduduk dan juga jalan raya yang tampak seperti mengular. Indah seperti lukisan. Ditambah dengan pemandangan puncak gunung yang tertutup awan.

"Masya Allah!" Rindu bergumam sambil tersenyum.

Rindu sengaja duduk di suatu tempat yang nyaman di puncak. Ia pun memulai murojaahnya.

"A'udzubillaahi minasysyaithoonirrajim. Bismillahirrahmanirrahim...."

Angin yang sedari tadi membuntuti Rindu kini sudah bersembunyi dalam jarak yang lebih dekat. Sekitar sepuluh meter di belakang Rindu yang sedang duduk terpekur sambil murojaah.

Lantunan ayat suci yang dibawakan oleh Rindu terdengar sedemikan syahdu dan merdu, membius siapapun yang mendengarkannya termasuk Angin. Angin duduk dengan posisi meringkuk seperti memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Semilir angin pegunungan yang berhembus, membuat suara lantunan ayat suci Rindu terdengar seperti nyanyian "Nina Bobo' yang sedemikian merdu. Angin berupaya keras agar matanya yang mulai mengantuk tidak terpejam. Karena ia harus mengawasi Rindu.

ANGIN RINDU (Completed)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz