26

380 30 0
                                    

Malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya. Selepas Maghrib, rumah Rindu didatangi para bocah yang dengan semangat 45 mengetuk pintu depan rumahnya untuk belajar mengaji.

Sebenarnya, Rindu sedang tak enak badan. Namun, mendengar suara ketukan pintu anak-anak di luar yang diiringi rintik hujan membuat Rindu akhirnya bergegas turun dari kamarnya di atas untuk menyambut anak-anak.

"Assalamualaikum bu..." Tanpa menunggu dijawab lengkap, anak-anak sudah berebut masuk dan duduk rapih agar dapat giliran pertama mengaji.

Seorang mengaji, yang lain mengerjakan soal di papan tulis untuk menunggu giliran mengaji. Masing-masing mendapat giliran mengaji maksimal lima menit. Butuh sejam untuk menyelesaikan semua antrian mengaji.

Tentu saja, sebelum anak-anak kelar antri mengaji. Anak-anak sudah selesai mengerjakan soal. Alhasil kelas berubah riuh oleh celoteh anak. Hingga Rindu harus beberapa kali mendelik untuk mengingatkan.

Kelar antrian mengaji, biasanya Rindu memberikan materi inti. Bukan soal yang terlalu pelik untuk anak-anak hanya dasar-dasar terutama tentang sikap. Lagipula Rindu tak berani menyampaikan sesuatu yang belum saya lakukan dengan baik. Nanti saya disebut "omdo" alias omong doang dong. Materi biasanya tentang rukun iman, rukun Islam, kisah nabi-nabi, terjemahan surat, bagaimana bersikap baik kepada orang lain, dan lain-lain. Namun biasanya materi inti bisa melebar kemana-mana sesuai pertanyaan anak-anak.

Tiba-tiba Apid yang biasanya paling tidak berani bertanya, menunjuk tangan. "Mengapa perempuan harus berjilbab?"

"Karena diperintahkan dalam Al Quran", celetuk Sakti. Saya tersenyum.

"Lalu kenapa bu? Bukankan rambut itu mahkota?" Tanya Dinda.

"Coba buka Quran surah Al Ahzab 59 dan Surah An Nur ayat 31!" Perintah Rindu. Anak-anak pun sibuk membuka Al Quran terjemahan.

Icha menatap Rindu seperti ingin bilang, "bu, saya sudah ketemu ayatnya. Boleh saya bacakan?"

"Iya...Icha bisa tolong bacakan!"

"Arabnya atau artinya?" Icha menatap Rindu.

"Artinya!"

Ica pun segera menatap Al Quran di tangannya dan mulai membaca terjemahannya. "Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

"Ayat berikutnya, Dina!"

"An Nur 31 bu?" Dina memastikan. Rindu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Kini giliran Dina yang membaca Al Qurannya, "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."

Dina mengakhirinya dengan sedikit terengah-engah. Rindu tersenyum.

"Saat wanita sudah memasuki masa akil baligh yang ditandai dengan datangnya menstruasi maka menurut Al quran mereka wajib menjaga dirinya dengan menutup aurat". Semua mata memandang Rindu.

"Islam sangat memuliakan wanita. Islam ingin para wanitanya tidak dinilai dari fisiknya saja." Anak-anak terlihat bingung. Mereka saling berpandangan satu sama-lain.

"Perumpamaan sederhana antara wanita yang berhijab dengan tidak, seperti permen. Semua permen yang dijual di pasaran itu dibungkus rapat. Hanya orang yang sudah membelinya saja yang bisa mencicipi manisnya. Atau adakah di sini yang suka membeli permen yang tanpa bungkus?" Rindu menatap muridnya satu per satu. Anak-anak saling berpandangan sambil cekikikan geli.

"Begitupun dalam Islam hanya keluarga dari garis keturunan saja seperti ayah, saudara laki-laki kandung atau sepersusuan, anak kecil, paman kandung yang masih boleh melihat rambut wanita, selebihnya tidak.Kalau orang di luar mahram ingin melihat ya nikahi dulu. Baru boleh." Jelas Rindu.

"Tetapi mengapa banyak wanita Islam yang tidak memakai hijab? Apa mereka tidak baik?" Tanya Sakti serius.

"Mungkin mereka belum tahu ilmunya", Rindu pun tersenyum.

"Saya yakin mereka tahu bu." Timpal Sakti lagi.

"Karena hidup itu pilihan! Meskipun itu sudah tercantum dalam Al Quran, Allah memberi kebebasan bagi hamba-hambaNya untuk berpikir. Bukan berarti wanita muslim yang belum berhijab derajatnya lebih buruk, mereka hanya butuh waktu lebih untuk mencerna kebenaran. Semoga dimudahkan". Semua mengangguk mafhum.

"Jadi perintah berhijab bukan perintah ibu ya. Tapi perintah Allah! Jangan kalau mau ketemu saya pakai hijab tapi selain itu tidak. Saya bukan siapa-siapa, tak berhak memaksa. Hanya Allah sang pemilik hidup yang berhak. Allah bisa ambil kapan saja apa saja yang sudah diberikan kepada kita."

Anak-anak terlihat serius. Obrolan pun berlanjut hingga jam setengah sembilan. Hujan yang semula deras, mulai reda. Rindu pun buru-buru membubarkan mereka, sebelum hujan kembali turun. 

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang