16

492 28 1
                                    

Pagi baru saja menjelang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi baru saja menjelang. Sinar surya masih malu-malu menampakkan diri. Kabut masih berseliweran di udara. Embun membasahi pucuk-pucuk dedaunan. Kokok ayam jago yang bersahut-sahutan, ditingkahi kicau burung yang terbang dengan lincah dari satu dahan ke dahan lain, menambah semaraknya suasana pagi.

Dari sudut kamar kecil terdengar suara merdu Rindu sedang menderas ayat suci. Alunan nada dan sempurnanya tanda baca membuat siapapun yang mendengarnya ikut luluh.

Sudah hampir tiga bulan ini, sepeninggal Steve dan Bara ke Amerika. Rindu memang rutin belajar mengaji. Saban sore hingga menjelang Isya, seorang guru ngaji sengaja dipanggil keluarga Rindu untuk mengajar Rindu.

Seperti dugaan mereka kala itu. Rindu yang hampir tak punya memori di otaknya itu dapat dengan mudah menyerap apa yang diajarkan sang guru ngaji. Bahkan Rindu tak butuh waktu lama untuk menghafal Al Quran. Selama hampir tiga bulan, setidaknya sudah lebih dari 3 juz Al Quran berhasil Rindu hafal.

Banyak perubahan berarti yang dialami Rindu selama belajar Al Quran. Rindu yang semula lebih banyak diam mematung menatap sudut abstrak, kini berubah menjadi lebih ceria. Rindu juga sudah mulai pandai berinteraksi dengan orang sekitar. Waktu-waktu sendiri dipergunakan Rindu untuk menderas Al Quran. Meski begitu, ingatan Rindu masih belum kembali.

Setiap Rindu memandangi album foto dan berusaha keras mengingat kenangan yang terekam dalam kumpulan foto tersebut. Rindu mengeluhkan kepalanya sakit teramat. Semakin dipaksa untuk mengingat kepingan memori yang telah lalu, semakin Rindu merasa frustasi.

Dokter Sam yang menangani Rindu meminta pihak keluarga untuk bersabar. Katanya kondisi trauma setiap pasien berbeda. Ada pasiennya yang tak butuh waktu lama untuk kembali mengingat dirinya dan kepingan memori yang hilang. Ada pula pasien yang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan ingatannya.

Asalkan pasien tersebut tidak ada kesulitan mengelola memori baru yang datang belakangan. Seharusnya hal tersebut tidak perlu dicemaskan.

"Rindu hanya butuh sedikit waktu lagi dan kesabaran dari orang-orang sekitar, selain tetap mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan," dokter Sam suatu kali pada Eyang ti, ibunda Rindu saat mengantar Rindu kontrol.

"Apa tidak cara lain yang bisa membuat ingatan kakak saya cepat pulih?" Tanya Eyang ti kritis pada dokter berkepala nyaris botak itu.

Dokter Sam seperti berpikir sejenak, "ada".

"Apa itu?" perempuan berusia lebih dari setengah abad itu penasaran.

"Sudah saatnya Rindu dilepas untuk mengenali dirinya sendiri..."

"Maksud dokter?"

"Iya, selama ini Rindu tinggal nyaman bersama keluarga dan hampir tidak pernah keluar rumah tanpa pengawasan keluarga. Perginya pun hanya ke rumah sakit atau ke tempat lain. Rindu tidak dibiarkan berinteraksi sosial dengan orang lain selain keluarga, guru ngaji dan paramedis di rumah sakit."

Eyang ti mendengarkan penjelasan dokter Sam sambil mengangguk-angguk.

"Beberapa pasien amnesia akan lebih mudah sembuh bila mereka punya waktu lebih banyak untuk berinteraksi sosial dengan orang banyak selain orang-orang terdekatnya. Bahkan ada pasien yang tetap beraktivitas seperti biasa."

"Jadi?" Eyang ti memastikan.

"Biarkan Rindu punya aktivitas sosial. Jangan biarkan dia terkungkung dalam tembok rumah hanya dikelilingi keluarga dekat. "

Suara merdu Rindu melantunkan ayat suci masih terdengar dari balik kamarnya. Kedua orang tua Rindu duduk bersisian di ruang keluarga sambil menyimak bacaan anaknya.

"Jadi hari ini, kita bawa Rindu ke rumah itu?" Tanya Eyang kung, ayah Rindu setelah menyeruput teh tubruk panasnya dari cangkir.

"Iya...dokter Sam bilang itu akan mempercepat kesembuhan Rindu".

"Jadi Mbok Nah yang akan menemani Rindu?" Tanya Eyang kung lagi.

"Iya..."

"Sudah bilang dengan Rindu?"

"Belum..."

"Sodaqollahul adzim...." Suara Rindu mengakhiri bacaan Al qurannya dari dalam kamar.

Tak menunggu lama, Rindu pun membuka pintu kamarnya. Dia melemparkan senyum kepada sepasang orang tua yang duduk di sofa.

"Nak, Rindu..." suara Eyang ti memanggil Rindu.

"Saya?" Tanya Rindu seperti ragu.

"Iya..." Eyang ti tersenyum. Rindu segera menghampiri perempuan tua yang sejatinya adalah ibu kandungnya itu.

"Duduk lah di sana....", Eyang ti mempersilahkan Rindu duduk di sofa yang berada di seberang sofa tempatnya duduk. Rindu menganggu dan segera duduk dengan patuh.

"Kau senang tinggal di sini Rindu?" tanya Eyang kung. Rindu mengangguk.

"Bagaimana hafalan Quran mu?" Kini giliran Eyang ti yang bertanya.

"Alhamdulillah, 4 juz terakhir sudah mulai terlampaui".

"Masya Allah!" Eyang ti terkejut bangga sekaligus haru.

"Hari ini, ibu akan ajak kamu ke suatu tempat."

"Menemui dokter?" tanya Rindu penasaran.

"Bukan..."

"Bertemu saudara ibu?"

"Bukan juga..."

"Lalu?"

"Ah nanti kau akan tahu sendiri. Kau pasti akan menyukai tempat itu nantinya".

Mata bulat Rindu menatap ayah dan bundanya bergantian dengan tatapan penasaran. 

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang