79

276 20 0
                                    


Satu tendangan ke arah gawang, dan GOOOOLLL!!!!

Anak-anak itu bersorak ketika tendangan salah seorang dari mereka menghasilkan gol. Bola berhasil melewati gawang, atau lebih tepatnya melewati antara dua buah tumpukan sendal yang diimajinasikan sebagai gawang. Sisi yang menang bersorak gembira sedangkan sisi yang kebobolan begitu bersemangat untuk membalas gol tersebut. Untuk memudahkan membedakan antara lawan dan kawan, maka tim yang tadi kebobolan diwajibkan bertelanjang dada, membuka kaos mereka.

Cahyo, bocah laki-laki kecil berbadan kurus duduk di tepi lapangan dalam posisi diam sambil menyaksikan jalannya laga yang tersaji di lapangan 'santiago berdebu.' Dia memang tidak bermain, namun dapat kau lihat dari sorot matanya bahwa ia sangat menikmati pertandingan yang dilakukan teman-temannya. Hingga kemudian Panji, salah seorang dari temannya yang berambut jabrik berjalan ke tepi lapangan tempat bocah kecil itu duduk. Anak berambut jabrik itu tampak sedikit kelelahan dan ingin beristirahat, oleh karena itu ia menyuruh si kecil untuk masuk lapangan menggantikannya.

Cahyo, segera membuka baju kaosnya karena ia akan masuk ke tim yang tadi kebobolan. Bocah itu masuk dengan penuh suka cita, ini yang sedari tadi ia tunggu. Langkah kaki mungilnya ia percepat untuk sampai ke tengah lapangan itu. Pertandingan dimulai kembali, bola di tendang dan anak-anak lain berebut mengambil bola dan memasukkannya ke dalam gawang.

Angin menanduk bola, memberikan umpan kepada si ceking Cahyo yang baru masuk tadi. Bersiap-siap mengambil bola, Cahyo justru terpeleset jatuh. Untunglah tidak ada lawan yang dekat dengan posisinya sehingga ia dapat segera bangkit dan mengambil bolanya. Dengan sangat kepayahan dia menggiring bola menuju gawang.

"Biarkan dia lewat Sakti, jangan diganggu! Biarkan dia menendang bolanya!" Seru Putra salah satu anak bertubuh jangkung yang bertindak sebagai penjaga gawang kepada anak lain yang berusaha menjegal Cahyo.

Cahyo kini berada di depan gawang dan mengambil ancang-ancang, dan... Shoot!! Tendangannya melambung jauh dari sasaran.

"Hahahaha," tawa anak-anak lain begitu riuh melihat momen yang menurut mereka sangat bodoh itu. Ya, si kecil itu, walaupun ia sangat menyukai sepak bola, bukanlah anak yang pandai bermain sepak bola, bahkan ia merupakan yang paling amatir di antara teman-temannya. Tapi meski begitu, ia juga ikut tertawa, menertawakan kebodohan yang ia lakukan tadi. Meski ia tidak lihai bermain bola, tapi ia sangat menikmatinya.

"Sakti! Sudah mau maghrib, mandi!" Suara Ibu Eko, ibu Sakti dari tepi lapangan memanggil Sakti sang bintang lapangan. Seluruh pasang mata memandang ke arah Ibu Eko.

"Iya Bu, aku segera ke sana!" sahut Sakti.

"Maaf teman-teman, sudah mau maghrib, mau mandi dulu" ujar Sakti kepada teman-temannya.

"Wah iya ya, sudah jam lima," ujar bocah gempal yang bernama Arba.
"Gue juga nih harus pulang," ujar Angin sambil berlari menghampiri Sakti di tengah lapangan.
"Iya, gue juga, gue juga," sahut anak-anak lain.

"Ya sudah kalau begitu sekarang kita bubar dulu, kita lanjutkan mainnya besok saja ya! Sepakat??!" Putra sang penjaga gawang menghampir anak-anak lain yang sudah berkumpul di tengah lapangan.

"Sepakat!!" Mereka serempak menjawab.

Ketika satu persatu anak-anak berpamitan untuk pulang. Tinggallah Angin dan Sakti di tengah lapang.

"Sudah seminggu, Ibu Rindu pergi." Lirih Angin. Sakti menatap Angin.

"Iya, sepi juga ya gak ada dia."

Angin tersenyum kecut.

"Kamu tahu kemana dia pergi?"

Angin mengangguk pelan.

"Kemana?"

"Ke rumah orang tuanya."

"Dia bilang gak kapan mau pulang?"

Angin menggeleng pelan.

"Hem...menurut kamu apa yang bisa membuat ibu Rindu kembali?"

Dahi Angin berkernyit seperti berpikir keras. "Kalau kita kembali ngaji di Rumah Quran Ar Rahman."

"Kalau gue mah ayo aja! Lagipula waktu anak-anak tidak datang ngaji minggu lalu, gue kan emang ada kompetisi. Bukan karena isu itu."

"Anak-anak bagaimana?"

"Sempet tanya....aslinya mereka juga masih mau ngaji. Waktu itu mereka dilarang ngaji memang karena orang tua mereka termakan isu soal aliran sesat. Toh akhirnya ayah ibuku ikut bantu klarifikasi ke masyarakat."

Angin menatap Sakti penuh harapan.

"Terus bagaimana caranya meyakinkan ibu Rindu kalau kita siap ngaji lagi?"

"Hem...."

Kedua sahabat itu saling berpandangan. Keduanya mengangkat bahu tanda tak tahu.

"Hai bro!" Tetiba Panji datang menghampiri Angin dan Sakti.

Angin dan Sakti menatap Panji.

"Ngapain?" Tanya Panji.

Angin, "nggak...."

"Oh iya...gue lupa. Apa nama tempat lo ngaji? Rumah Quran Ar..." Panji lagi.

"Ar Rahman..." Angin dan Sakti serempak.

"Nah itu....gue pengen ngaji deh. Katanya gurunya enak. Masih boleh gak ya?"

Mata Angin berbinar-binar. "Pasti boleh....tapi...."

"Tapi apa?" Tanya Panji.

"Gurunya kabur...." Celetuk Sakti.

"Lah napa?" Panji bingung.

"Minggu lalu, ibu Rindu difitnah. Anak-anak dilarang ngaji sama bu Rindu. Sebetulnya gue juga tapi nekat datang. Sakti kebetulan lagi kompetisi. Alhasil cuma gue. Mungkin Ibu Rindu sedih jadinya pergi." Angin panjang lebar.

"Owww....pantes. Sepupu gue juga kagak ada yang ngaji lagi. Perasaan dulu semangat banget deh kalau yang namanya ngaji." Panji angkat bicara.

"Nah itu dia....Gue yakin banget ibu Rindu tidak seperti yang dituduhkan. Kalau penampilan dia seperti itu, ya mungkin emang begitu syariatnya pake jilbab yang bener." Angin lagi.

"Dan bu Rindu gak penah ngajarin yang aneh-aneh kok..." Tambah Sati.

"Jadi gimana?" Panji.

"Kita harus meyakinkan ibu Rindu, kalau kita mau ngaji lagi sama dia."

"Dia ada telpon kan?" Tanya Panji.

"Adalah pasti."

"Lo tau nomernya?"

Angin mengangguk pasti.

"Ya udah, besok ajak aja anak-anak kumpul. Trus kita telpon ibu Rindu bareng-bareng." Usul Panji.

Angin dan Sakti saling berpandangan.

"Boleh juga usul lo..." Sakti mengomentari. Angin sumringah.

"Ya udah besok jam berapa?" Tanya Angin.

"Sore aja...pulang sekolah. Biar pada kumpul." Sahut Sakti.

"Nah...." Panji.

Angin mengangguk-angguk.

"Sakti....! Buruan pulang. Mandi!" Suara teriakan bu Eko kembali tedengar.

"Iya bentar!" Teriak Sakti.

"Gue pulang dulu ya bro! Emak gue dah manggil lagi." Pamit Sakti.

"Iya gue jug amau pulang kok...." Panji menimpali. Angin juga.

"Daa...." Sakti sambil setengah berlari menghampiri ibunya yang sudah berdiri di tepi lapangan.

Angin dan Panji mengambil sepedanya masing-masing.

"Yuk ah!" Panji sebelum mengayuh sepedanya meninggalkan Angin. Angin menyusul dari belakang.


Tembak!

ANGIN RINDU (Completed)Where stories live. Discover now