14

528 30 0
                                    

"Sudah hampir dua bulan...dan belum ada tanda-tanda ingatan Rindu akan kembali", Steve suatu kali di hadapan ayah, ibu, dan adek Rindu. Suasana terasa hening.

Steve menarik nafas dalam-dalam demi membentuk kekuatan di dalam hatinya. "Dan saya tak bisa menunggu lebih lama. Saya harus segera kembali ke Amerika, kalau saya tak ingin kehilangan pekerjaan itu. Masa cuti saya usai minggu depan. Saya harus kembali...". Suara Steve terdengar berat.

"Sebenarnya saya tak mau. Tetapi harus! Saya tak punya pilihan. Saya butuh pekerjaan itu karena Rindu mungkin akan butuh biaya banyak untuk penyembuhannya."

"Bagaimana dengan Bara?" tanya Eyang ti.

"Bara ikut saya," tegas Steve. Mereka saling berpandangan.

Steve mafhum, "Saya tak akan lari membawa Bara. Bara ikut saya kembali karena dia berpaspor Amerika. Dan saya pikir, adalah tak bijak bila saya menyerahkan Rindu beserta Bara dengan keluarga sini. Rindu butuh perhatian ekstra dari semuanya. Dan saya tak ingin menambah beban keluarga di sini dengan menyerahkan Bara juga."

"Dan Saya pasti akan kembali demi Rindu." Suara Steve terdengar semakin berat. Matanya berkaca-kaca. Steve menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan hidung dan menghela nafas dalam-dalam demi membuat sebentuk perasaan lega di dalam hati yang rapuh.

Novan yang kebetulan duduk di sebelah Steve, menepuk-nepuk punggungnya perlahan. Suasana menjadi hening, diam seribu bahasa. Ayah. Ibu, Novan, Ratih, Widya dan Aldi saling melempar pandang agar salah satu dari mereka berbicara.

Novan berdehem, "menurutku itu keputusan yang baik untuk saat ini. Kita tak pernah tahu kapan ingatan mbak Rindu akan pulih. Seminggu, sebulan atau bahkan setahun lagi..."

"Biarlah mbak Rindu di sini hingga pulih. Dan biarkan Steve kembali ke Amerika untuk bekerja. Toh Steve tak akan lama. Sebenarnya terus terang kami sedikit keberatan bila Bara juga turut serta ke Amerika. Tetapi yah, kami bisa apa. Toh, Bara anak kandung Mas Steve. Bara belum punya paspor Indonesia. Tentu akan lebih sulit untuk bara tinggal di sini." Seisi ruang manggut-manggut.

"Bagaimana yah?" Tanya Novan memandang wajah keriput Eyang kung yang duduk di salah satu sofa, berdampingan dengan Eyang Ti.

"Ayah setuju..." singkat dan jelas.

"Yang jadi pertanyaan di sini adalah, bagaiman kelanjutan terapi Rindu? Ada yang punya ide?" Novan melempar pertanyaan ke forum.

"Pernah dengar terapi Al Quran?" Suara si bungsu Aldi tiba-tiba.

"Maksudmu?" Tanya Novan.

"Iya... Al Qur'an merupakan obat dan penyembuh bagi berbagai penyakit yang diderita manusia , baik penyakit medis, kejiwaan maupun penyakit akibat gangguan jin dan sihir. Seperti dalam surat Al israak ayat 82. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." Aldi memang jebolan pesantren, makanya dia pandai mengurai dalil.

"Kita coba saja panggilkan ustadz untuk mengajar ngaji mbak Rindu. Mumpung ingatan mbak Rindu nol besar. Rasanya akan lebih bagus bila hal pertama yang mbak Rindu ingat adalah tentang Allah dan ayat suci. Siapa tahu Mbak Rindu bisa menjadi hafizah...", Aldi bersemangat. Semua mata tertuju padanya.

"Iya kalau ingatannya pulih, kalau malah makin error terkena aliran sesat bagaimana?" Novan yang selalu berpikir logis rada antipati dengan hal yang berbau agama.

"Ya nggak gitu dong Novan...masa belajar Al Quran bikin error. Bukan hanya mbak Rindu yang harus belajar tapi kamu juga...." Eyang ti, ibunda Rindu tiba-tiba ambil bicara sedikit sewot.

"Iya kalau malah terkena paham ISIS bagaimana?" Eyang kung ikut-ikutan memanaskan suasana. Eyang ti mencubit pinggang Eyang kung.

"Mungkin dek Aldi ada benarnya Mas....", Ratih istri Novan ikut angkat bicara.

"Biar mbak Rindu mencoba terapi Al Quran." Ratih lagi.

"Ok...siapa yang mau mengajar?" Tanya Novan.

"Aldi punya teman guru ngaji Kauny Asykar. Dia punya metode menghafal quran dengan gerak tangan. Jadi siapapun yang belajar, Insya Allah akan hafal Al Quran beserta maknanya lewat bantuan metode gerak tangan tadi. Sekalian mbak Rindu bisa belajar membaguskan tajwid dan tahsin." Jawab Aldi panjang lebar.

"Dia bisa datang ke rumah ini?" tanya Widya.

"Bisa...Insya Allah. Rumahnya deket kok..."

"Do you know how much i have to pay for that?" Steve ikut nimbrung.

"Dia bukan guru ngaji komersial. Bahkan dia sering mengajar ngaji gratisan. Karena baginya syiar lebih penting daripada uang."

"Kau bisa panggil dia segera, sebelum saya dan Bara terbang ke Amerika?" Mata Steve berbinar-binar, seperti ada secercah harapan di sana.

"Bisa!"

"Ok.." Steve manggut-manggut.

"Bagaimana semua? Jadi kita coba terapi Al Quran untuk mbak Rindu ya?" Novan memastikan. Sebagai anak lelaki pertama di keluarga, dia memang bertindak layaknya kepala rumah tangga. Meskipun dia hanya adik pertama dari Rindu. Tapi dia merasa bertanggung jawab penuh bagi kelangsungan keluarga.

"Setuju!" Ratih menyahut.

"Ibu juga!" Eyang ti.

"Ikut!" Widya.

"Yes bos!" Eyang kung.

"Ok..kita semua setuju...Besok panggil ya temen kamu yang guru ngaji itu!"

"Sip..." Aldi menyahut.

Rapat keluarga malam itu berakhir dengan keputusan, Steve dan Bara kembali ke Amerika. Rindu tetap di Indonesia sambil memulihkan ingatannya. Pihak keluarga setuju bila Rindu menjalani terapi Al Quran, belajar mengaji kembali.


Kamu tahu berapa saya harus membayarnya?

ANGIN RINDU (Completed)Where stories live. Discover now