48

303 18 0
                                    


Sudah dua minggu ini, kelas mengaji libur. Sebenarnya Rindu sedang mencari jalan keluar bagaimana anak-anak bisa mengaji di tempat yang lebih besar. Namun hingga tenggat waktu yang sudah ditentukan, Rindu belum juga menemukan.

Sebenarnya selain rumah tua yang tempo hari sempat dilihatnya bersama bu Eko, Farras dan Endang, ada alternatif tempat lain. Salah seorang terkaya di Kampung Sukabakti yang juga pemilik perkebunan karet menawarkan salah satu paviliun rumahnya yang megah seperti istana itu untuk dijadikan tempat mengaji. Namun, lokasinya yang mesti melewati perkebunan karet, membuat Rindu tak berani memindahkan anak-anak ke sana.

Mungkin tak masalah bila pengajian pagi atau siang. Namun, apakah tidak terlalu beresiko bagi Rindu dan anak-anak melintasi perkebunan karet di malam hari yang gelap gulita. Siapa yang akan bertanggung jawab bila salah satu murid mengajinya hilang atau tersesat di tengah kebun.

Belum lagi, paviliun itu berada di tengah-tengah istana yang masih dihuni. Rindu takut, anak-anaknya yang kampungan akan kegirangan melompat ke dalam kolam renang besar milik orang kaya itu. Atau anak-anak yang norak berlarian di tengah istana hingga mengganggu penghuni.

Entah mengapa, Rindu tak berminat memindahkan tempat pengajiannya di paviliun mewah itu atau rumah tua di tengah tanah pekuburan. Rindu lebih memilih tetap bertahan dan tidak menerima murid baru dahulu sampai menemukan jalan keluar.

Selama libur dua minggu itu. Hampir setiap hari anak-anak datang hanya untuk bertanya, "Bu kapan ngajinya dimulai lagi?"

Hingga akhirnya, Rindu terpaksa memulai juga kelas mengajinya tepat pada Senin malam. Namun, Rindu hanya membolehkan anak-anak lamanya saja untuk ikut mengaji. Sedang anak-anak yang baru mendaftar belakangan akan diberitahu kemudian saat Rindu sudah menemukan tempat mengaji yang baru.

"Tolong jangan bilang yang lain, kalau kita ngaji hari ini. Belum ada tempat." Rindu mengingatkan anak-anak lamanya. Mereka mengangguk seperti terlihat mafhum.

Namanya juga anak-anak. Jangan harap rahasia tetap rahasia. Tiba-tiba selepas Maghrib, tiga puluhan anak yang belum kebagian jadwal mengaji di sore hari datang bergerombol menyambangi rumah saya. Seketika muka Rindu menjadi pias. Bingung mau ditaruh dimana.

Rindu bahagia sekaligus bingung dan panik. Kebetulan ibu Eko dan Endang yang masih di rumah Rindu selepas mengaji dan shalat maghrib berjamaah ikut kelimpungan. Dia langsung menelpon orang. Setelah menutup teleponnya dia pun dengan pasti berkata, "yuk kita pindah sekarang juga!"

"Tapi kemana?"

"Sudah ikut saja, Insya Allah ini lebih baik dari dua pilihan sebelumnya, madrasah yang suram dan rumah orang kaya itu!"

Buru-buru Rindu mengumpulkan anak-anak sebelum memobilisasi mereka entah kemana. Dan rupanya bu Eko membawa mereka ke rumah kosong berjarak kurang lebih 1 kilometer dari rumah Rindu.

Rumah yang sudah kosong setahunan itu milik keluarga Engkong Samid. Laki-laki tua asli kampung itu, Betawi tulen.

Waktu Rindu dan anak-anak datang. Rumahnya sudah siap sekali untuk dipakai ngaji. Karpet sudah digelar, air minum sudah siap.

Engkong Samid bilang, "pake aja neng... Daripada ni rumah kosong dihuni jin mending pada ngaji di sini dah. Engkong mah kagak bisa apa-apa. Cuma bisanya ini. Ngajar ngaji kagak 'gablek' ya bisanya eni doangan. Kalo minum mah, engkong yang sediain. Makan juga kalo engkong sempet. Lagian kan engkong juga bentar lagi mati. Kagak bawa ape-ape. Nah paling bawa amalan doang. Ini bekal engkong ntar".

Rindu mendengarnya sambil berkaca-kaca, "Alhamdulilah...."

ANGIN RINDU (Completed)Where stories live. Discover now