| 056 | GBGB

467 27 12
                                    

056

~Good Boy Gone Bad~

Dua tahun yang lalu...

Karin merasa dirinya sangat gugup saat ini. Ia sedang pulang sekolah dengan Jay. Cahaya sore menerpa desa terpencil itu. Desa Puterus yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jay berjalan dengan santainya. Pandangannya berkelana kesana kemari. Mungkin ia tidak pernah merasakan kedamaian seperti di desa ini. Baru sekitar satu tahun yang lalu ia datang ke desa ini. Lingkungan kehidupannya yang dulu adalah di kota. Hiruk-pikuk Kota Bandung berbeda dengan suasana nyaman dan tenteram Desa Puterus.

"Kamu kenapa?" tanya Jay yang menyadari Karin bertingkah aneh disampingnya sejak beberapa hari yang lalu.

"K―kamu bilang apa tadi?" Karin yang sempat memikirkan entah apa, sontak bertanya seperti itu.

"Ish!" Jay mengacak poni Karin, "fokus napa?" lanjutnya sembari berjalan mendahului Karin.

"Aku mau ngomong sama kamu, Jay?!" Karin menyejajarkan langkahnya dengan langkah Jay kemudian memberanikan diri untuk mengatakan kegelisahannya saat ini.

Mendengar hal itu, Jay berhenti dan siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Karin, "tinggal ngomong."

"A―aku..."

"Aku aku kenapa? Kamu sakit?" Jay memotong ucapan Karin dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Karin. Memeriksa apakah gadis di depannya saat ini dalam kondisi baik-baik saja.

Karin yang tidak berani menatap Jay semenjak beberapa hari yang lalu, mendongak dan menatap mata tajam Jay. Itu karena ia merasa gugup saat Jay menyentuh dahinya. Biasanya ia tidak akan merasakan apapun termasuk gugup ketika Jay memperlakukan dirinya seperti itu. Namun, kali ini ia merasa gugup. Penyebabnya adalah hatinya itu.

Karin mengalihkan tatapannya ke sekitar dirinya. Ia tidak ingin menjadi lebih gugup saat menatap mata tajam Jay. Karin ambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Ia memberanikan diri menatap mata Jay dan berkata, "Aku suka sama kamu."

Senyuman di wajah Jay langsung lenyap begitu saja. Bak orang yang telah mendengar kabar jikalau keluarganya telah meninggal dunia. Jay menjauhkan tubuhnya beberapa senti dari Karin. "Sejak kapan?" tanya Jay setelah mendengar ungkapan perasaan Karin.

"Sejak beberapa bulan yang lalu. Saat aku mulai deket sama kamu. Saat itu juga aku mulai suka sama kamu. Mungkin aneh jika aku yang mengatakan ini sama kamu. Tapi aku udah berusaha nahan perasaan itu. Dan aku nggak bisa nahan perasaan itu lebih lama lagi," jelas Karin dengan nada yang lebih tenang ketimbang sebelum mengungkapkan perasaannya tadi.

Jay mengusap-usap lehernya merasa heran. Saat ini, ia tidak bisa menatap gadis yang ada dihadapannya itu. Ia tidak menyangka Karin akan menyukai dirinya dalam waktu yang dekat.

Di samping sana, Fino bisa dengan jelas mendengar dan menyaksikan seorang gadis yang masih disayanginya mengungkapkan perasaan kepada seorang pria. Pria yang sudah menjadi teman sekelasnya sejak beberapa waktu yang lalu. Melihat hal itu, Fino hanya bisa pasrah. Niatnya untuk meminta Jay agar tidak mendekati Karin dan membuat hubungan yang lebih dekat lagi. Gagal. Mungkin beberapa hari ke depan, ia bisa memperingatkan Jay agar tidak mendekati Karin. Mungkin Jay tidak akan menerima perasaan Karin begitu saja? pikir Fino. Ia segera beranjak dari posisinya.

"Aku nggak butuh jawaban kamu, kok. Kita bisa temenan terus. Anggep aja hal ini nggak pernah terjadi," jelas Karin pada Jay yang sedang bingung akan tingkahnya itu. Terlukis senyuman di bibir Karin. Ia merasa lega saat ini. Perasaan lega itu lenyap ketika Jay menatap dirinya tanpa ekspresi.

Karin merasa bersalah. Itu karena ucapannya membuat Jay diam tak berkata apapun. Pria itu menunduk dengan kedua tangan mengepal erat.

"Jay. Kamu baik-baik aja?"

Karin memberanikan diri menyentuh lengan Jay. "Jay―"

Plak

Tiba-tiba saja, Jay melayangkan tamparannya pada gadis yang ada dihadapannya itu. Hal itu membuat Karin heran. Karin tidak memaksa Jay sama sekali untuk menerima perasaannya bahkan meminta Jay untuk mempertimbangkan keputusan akan ungkapan perasaan Karin. Apakah ada perkataan Karin yang membuat Jay melayangkan tamparannya itu?

Jay langsung pergi meninggalkan Karin sendirian. Adegan sang ayah menampar ibunya entah kenapa dirinya melakukan hal persis itu.

Karin berdiri mematung dirundungi banyak pertanyaan. Apa tadi Jay baru menampar diriku? Itu memang benar tamparan! Apa dia sakit? Tiba-tiba aja nampar aku kayak gitu! Apa dia udah punya pacar? Sehingga dia nolak perasaan aku? Masa iya nyampe segitunya reaksi dia ke aku! Tinggal bilang aja kalo dia itu udah punya pacar! Jadi aku bisa tetep temenan sama Jay! Pikiran Karin melayang-layang stres memikirkan kejadian hari ini.

Keesokan harinya Jay sedang berjalan sendiri menuju ke sekolahnya yang tidak jauh dari tempat tinggal. Ada sedikit perubahan dalam dirinya yang jika perubahan itu dibiarkan dan dipakai terus-menerus bisa berubah menjadi perubahan yang besar. Dan tentunya berbahaya jika perubahan itu adalah perubahan baik ke buruk.

Jay yang biasa memakai sepatu kets tanpa warna lain selain hitam, hari ini memakai sepatu kets dengan tali sepatu berwarna putih. Di bagian bawah sepatu itu terdapat white line. Rambutnya yang biasa di sibakkan ke samping atau ke belakang, menjadi ke depan hingga menutupi dahi. Wajahnya yang biasanya ceria dan berekspresi bahagia, berubah menjadi wajah datar dengan tatapan tajam. Sebuah rokok terselip di jari tangan kanannya.

Perubahan seperti itu mungkin bisa ditoleransi, tetapi apakah itu hanya perubahan dari luar saja? Atau mungkin sikap Jay juga berubah sejalan dengan perubahan aksesoris, mode rambut, atau perubahan yang akan datang?

Fino yang berjalan dibelakang Jay berniat menghajar Jay habis-habisan. Ia masih belum terima jika Karin ternyata menyukai Jay. Ia bisa menghentikan hubungan Jay dan Karin agar tidak berlanjut dengan mengancam Jay agar menjauhi Karin.

"Rokok?"

Fino heran sejak kapan Jay merokok. Ia melihat sepuntung rokok di lempar Jay ke jalanan. Ia lihat dengan jelas jika puntung rokok itu Jay yang membuang. Apakah ada perubahan besar pada Jay? pikir Fino.

Pikiran Fino dibuktikan dengan bukti yang ada dihadapannya saat ini. Karin yang muncul dari gang sempit tidak disambut hangat oleh Jay. Di kejauhan sana tampak Jay melihat Karin dengan tatapan datar. Biasanya setiap mereka bertemu, mereka akan saling tertawa dan langsung membicarakan sesuatu yang panjang lebar. Senyuman tidak terlintas diantara mereka berdua. Justru Karin langsung meninggalkan Jay tanpa sepatah katapun.

"Mungkin Jay nolak Karin," guman Fino. Ada sedikit rasa lega di dadanya. Ia bisa mendekati Karin kembali tanpa halangan apapun. 

~Good Boy Gone Bad~

***

See You Next Part

Bersambung...

Good Boy Gone BadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang