18 || Hukuman mati

1.9K 206 3
                                    



        Maura sudah menangis keras ketika makhluk itu menjalankan aksi nya di tubuh bagian atas Maura. Gadis itu sudah berusaha semampunya namun entah mengapa tubuhnya terasa kaku dan tidak dapat di gerakan. Maura menggelengkan kepalanya ketika makhluk itu hendak melanjutkan aksinya lebih jauh lagi. Maura berusaha meronta namun nihil. Ia sama sekali tak bisa. Ada apa ini?

"ARGHHHHHHH!"

Tepat ketika makhluk itu hendak menyentuh celana yang Maura pakai. Mendadak cahaya merah menyala memancar melalui kalung yang Maura kenakan. Cahaya itu mengenai tepat pada mata makhluk itu. Makhluk itu mengerang kesakitan. Memegang matanya yang nampak mengeluarkan cairan berwarna hitam.

"Sialan!"

Makhluk itu menatap Maura sebentar. Ia berjalan dengan amarah mendekati Maura lalu menamparnya dengan keras. Makhluk itu nampak marah. Tanpa kata segera melepaskan rantai pada tangan Maura lalu tanpa perasaan menyeretnya begitu saja keluar sel yang selama ini Maura tempati.

Maura meringis sakit. Ia berusaha meronta namun sia-sia. Maura menangis sepanjang perjalanan. Sampai ketika ia melewati sel terakhir. Maura yakin sekali ia mendengar sesuatu. Ia mendengar suara memanggil namanya. Suara yang ia kenal.

"Maura."




|BINDING DESTINY|





     Elvan menggandeng tangan Leta dengan lembut. Mereka berjalan mengelilingi desa dengan senyum mengembang. Sesekali Elvan nampak mengeluarkan guyonan receh yang membuat Leta terbahak. Kemudian berakhir dengan wajah Leta yang di hujani ciuman oleh Elvan.

"Elvan," panggil Leta.

Elvan menoleh. "Iya?"

"Aku merasa bingung," kata Leta lagi. "Entah mengapa, akhir-akhir ini aku merasa aneh."

Elvan menaikkan alisnya bingung. "Aneh bagaimana?"

Leta menghentikan langkahnya. Ia menatap Elvan sepenuhnya sambil memainkan jemari tangannya sendiri.

"Aku merasa seperti kehilangan sesuatu, entah mengapa tiba-tiba aku merasa khwatir. Dan kadang aku merasa begitu sedih dan ingin menangis, aku merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tapi aku tak tahu apa itu."

Tubuh Elvan menegang. Ia menatap pada Leta yang masih menunggu reaksi darinya. Elvan segera merubah raut wajahnya. Ia tersenyum lalu merangkul Leta dengan penuh sayang. Kembali melanjutkan langkah mereka.

"Mungkin kamu hanya kelelahan, itu hal biasa," jawab Elvan. "Sudah, ayo, pulang. Nenek pasti telah menunggu kita."

Leta mengangguk. Ia mengikuti langkah Elvan meski dengan perasaan aneh. Sebuah perasaan yang mengatakan bahwa tidak seharusnya Leta berada di sini, bahwa seharusnya Leta tidak bersama Elvan. Sebuah firasat yang mengatakan bahwa ini sebuah kepalsuan. Sebuah kebohongan.

Leta menggeleng. Mencoba menepis semua itu. Ia segera tersenyum pada Elvan yang menatapnya. Dengan mantap meneruskan langkah mereka.

Ah, mungkin yang di katakan oleh Elvan benar. Ia hanya kelelahan. Dan Leta percaya. Ia percaya pada Elvan. Pada suaminya.





|BINDING DESTINY|





  
       Avner menghela napasnya kasar. Ia melemparkan buku-buku itu dengan kesal. Sudah sejak kemarin ia berada di perpustakaan miliknya namun sama sekali tidak menemukan jawaban apapun. Semua pertanyaan Avner masih abu-abu jawabannya. Dan sampai saat ini pula Avner belum bisa mengetahui keadaan Maura. Seolah ada sebuah portal yang menghalanginya.

Avner mengusap wajahnya kasar ketika merasakan jika ada yang mengetuk pintu. Menampilkan sosok Javier yang menunduk dengan penuh hormat pada Avner.

"Ada apa?" tanya Avner.

"Ampun, Yang Mulia. Hari ini hukuman mati akan segera di laksanakan."

"Lakukan saja, aku sedang sibuk sekarang."

Javier menatap Avner sebentar. "Tapi Yang Mulia—"

"Apa kau tuli?!" sentak Avner kasar. "Sudah kubilang aku sedang sibuk, pergilah!"

Javier menelan ludahnya, ia menghela napas kemudian menunduk hormat berjalan keluar. Meninggalkan Avner yang masih diam sambil menatap tumpukan buku-buku diatas meja yang berserakan. Avner menghela napasnya, ia memijat pelipisnya yang terasa hampir pecah karena memikirkan persoalan rumit ini.

Avner bangkit berdiri dengan kasar, ia hendak berjalan-jalan sebentar untuk mengurangi rasa penatnya. Avner meraih jubah hitam nya yang ia sampirkan di sandaran kursi. Ia memakai dengan pelan lalu berjalan keluar.


"Arghhhh ...."

Avner menghentikan langkahnya, ia menyentuh punggung nya yang mendadak panas dan perih. Avner menggelengkan kepalanya. Ia menatap kesekeliling lorong yang sepi. Tak ada siapapun disini yang berpotensi mencelakai dirinya.


"Arghhh  ...."

Avner kembali menggeram sakit. Sekarang kedua kakinya mendadak lemas rasanya seperti tulangnya di patahkan secara bersamaan. Hanya beberapa detik dan rasa sakit itu hilang. Avner menatap bingung kesekeliling. Ia menyentuh kakinya yang terlihat baik-baik saja. Avner hendak berjalan lagi namun mendadak kepalanya mendongak keatas, rasanya sakit dan perih. Seperti ada yang menjabak rambutnya dengan keras lalu tiba-tiba wajahnya terdorong kesamping dengan kuat, menimbulkan bunyi pada lehernya.

Avner menatap bingung. Ia menyentuh wajahnya yang sudah baik-baik saja. Avner merasa ada yang aneh pada dirinya. Apa ia tadi salah mencoba mantra ketika didalam? Atau sedang dikerjai oleh orang iseng? Atau kah ini ada sangkut pautnya dengan  ....


... Maura!


Avner mengerjakan matanya pelan. Kedua bola matanya membola seketika, Avner berlari dengan kecepatan kilat, dalam sekejap sudah sampai di tempat yang ia tuju. Avner terengah mendobrak pintu dengan kuat, kedua matanya memerah,asap hitam pekat menyelimuti nya dengan hawa panas luar biasa.


Avner murka sangat murka.


"SIALAN! KALIAN SEMUA INGIN MATI RUPANYA!"






***

Hayo loh, marah si Avner😂😂

Find me :

IG: nuranisa174

Binding destinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang