38

967 94 5
                                    

Selamat membaca dan menikmati kisah Avner dan Maura

|chapter thirty eight|

  

      Ares tak bisa berhenti tersenyum sejak awal ia menginjakkan kakinya di ruangan berornamen gelap itu hingga sekarang. Netra nya sudah terkunci rapat pada sosok yang terbaring tenang di atas peraduan, wanita cantik bergaun putih yang sedari tadi menutup matanya dengan tenang, Loucy.

Salah satu tangan Ares terangkat, membelai lembut wajah Loucy, mengusap bibir wanita itu pelan.

Ares tersenyum. "Akhirnya, tinggal sedikit lagi."

Ares memajukan tubuhnya, lebih dekat dengan Loucy saat ini. Aroma wangi khas milik Loucy dapat ia hirup dengan jelas, aroma memabukkan yang selalu berhasil membuat Ares jatuh lagi dan lagi. Wajahnya semakin dekat, menyatukan dahi dan hidung bersamaan, Ares memejamkan matanya mengecup lembut bibir milik sang pujaan. Rasanya sudah lama sekali. Sudah lama sekali ia tak merasakan rasa manis ini.

"Menjijikkan."

Ares menjauhkan wajahnya, ia menoleh kesal pada Axel yang bersandar di tepi ranjang dengan wajah tanpa dosa. Pria itu bersidekap, menatap pada iblis tua bangka yang baru saja mencium wanita yang sedang tidak sadarkan diri, begitu pikirnya.

"Sialan!" umpat Ares kesal.

Mata nya tak bisa lepas dari Axel yang berjalan lebih dekat, duduk di pinggiran ranjang seraya memandangi Loucy.

Sial, ada apa dengan tatapannya itu!

"Paman, boleh aku bertanya sesuatu?"

Ares mengernyitkan kening, merasa aneh ketika Axel mendadak menjadi sopan begini, seperti berasal dari ras malaikat saja. Meski begitu Ares tetap mengangguk. "Katakan!"

Axel menatap Loucy lamat-lamat kemudian mengedarkan pandangan ke balkon kamar. "Kau melakukan hal senekat ini, hanya demi wanita?"

Ares terkekeh, ia mengusap punggung tangan Loucy dengan lembut. Axel melihat itu, tatapan mata dan bagaimana cara Ares menatap seorang Loucy sudah bisa menjelaskan segala hal di dalam kepalanya.

"Dia bukan hanya wanita biasa, Axel. Loucy adalah istriku, duniaku, dia bahkan berarti nyawa untuk ku." Ares menatap kedepan dengan rahang mengatup tajam. "Aku bahkan bersedia mati jika itu untuk Loucy."

Axel mengangguk, ia bangkit dari duduknya seraya merapikan jubahnya yang sedikit kusut. Axel menatap cincin pada jemarinya, ia mengepalkan tangan mulai memberanikan diri untuk membuka suara pada Ares. membuat permintaan pada pria itu.

"Paman, aku ingin menagih janjimu."

***

Leta tak bisa tidur, ia tetap terjaga dengan mata memerah habis menangis. Ia mencengkram ujung kursi dengan kuat, tubuhnya duduk waspada menatap ke jendela tanpa kaca yang berada tepat agak jauh di depannya. Leta rasa sudah hampir dua jam wanita tua itu meninggalkan dirinya sendiran disini.

Leta ketakutan, tentu saja, apa lagi ketika ia dapat mendengar dengan jelas tawa-tawa menyeramkan, serta manusia bersayap dengan tanduk iblis yang sedari tadi berlalu lalang melewati jendela. Leta ingin pulang, ia rindu rumahnya, ia rindu Nenek, Leta rindu suaminya yang entah ada di mana sekarang.

Seharusnya ia tetap di rumah saja, harusnya Leta tak termakan rasa penasaran dan tetap menunggu Elvan seperti biasanya di rumah. Harusnya ia tak berada disini sekarang. Leta menyesal, ia ingin pulang.

Ia semakin merapatkan jaketnya ketika udara semakin dirasa dingin menusuk, Leta mengusap perutnya pelan, ia lapar. Leta ingin makan nasi goreng buatan Elvan, Leta mengantuk, ia ingin tidur sembari memeluk Elvan. Leta ingin suaminya sekarang, ia kedinginan dan takut. Leta menangis lagi hingga jatuh terlelap sendiri.

"Kamu melewati batasmu, Leta," ucap wanita tua yang sedari tadi berdiri di luar jendela. "Selamat menikmati hukumanmu, istriku."

Wanita itu berbalik, merubah dirinya menjadi sosok pria tampan dengan sayap hitamnya yang gagah. Elvan berbalik sebentar, menghela napasnya kemudian terbang menjauh.

***

Maura menatap dirinya dari pantulan cermin dengan bingung, alisnya terangkat satu dengan wajah bertanya-tanya. ia mendongak ke arah Isabelle yang tengah sibuk menata rambutnya.

"Isabelle," panggil Maura pelan.

"Iya, Nona."

Maura terdiam sebentar, menatap ke arah cermin sekali lagi. "Apa ada acara disini?"

Isabelle menggeleng. "Tidak, Nona."

Maura menatap Isabelle sebentar, ia kembali memperhatikan penampilan nya yang tampak aneh tak seperti biasanya. Hari ini Isabelle mengepang rambutnya menjadi satu, melilitkan keatas hingga membentuk sanggul. Cantik sekali.

Isabelle juga memakaikan Maura gaun yang bagus, berwarna merah gelap dengan aksen hitam. Tidak seperti biasanya, gaun yang sering di pakai Maura berwarna biru tua gelap, atau warna hitam.

"Lalu untuk apa semua ini?" tanyanya bingung.

Isabelle hanya tersenyum, kembali melanjutkan kegiatannya merias wajah gadis itu. Memberi sedikit polesan pada bibir gadis itu yang tampak pucat. Warna merah yang tak terlalu terang, berpadu pas dengan gaun yang tengah ia kenakan saat ini.

"Sudah selesai, hadap kemari, Nona. Biar saya yang ...." Isabelle terdiam, ucapannya terhenti begitu saja.

Gadis itu tersenyum dengan balutan gaun merah panjang, rambut tersanggul rapi, serta lipstik tipis berwarna merah. Maura benar-benar mengingatkan Isabelle pada mendiang kakak iparnya.

Dalam keadaan seperti ini, ia seperti ... rasanya seperti melihat kakak iparnya lagi. Benar-benar mirip. Isabelle ingin menangis.

"Kenapa? Aku tidak cocok ya pakai ini? pasti terlihat lucu."

Isabelle tersentak dari lamunannya, ia menggeleng cepat. "Tidak, Nona sangat cantik. Cantik sekali."

Maura menunduk tersipu, ia tersenyum lebar, memandangi wajahnya di cermin dengan binar bahagia. Maura menyentuh bibirnya yang terpoles lipstik, melihat dirinya dalam balutan pakaian seperti ini. Maura merasa tak asing.

"Lihatlah cantik bukan?"

Gadis berambut panjang itu menyipitkan matanya. "Kau terlalu percaya diri, Kakak ipar."

"Kau mengenalku dengan baik, Isabelle."

"Nona!"

Maura tersentak, menoleh kearah Isabelle yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Isabelle menatap kearahnya, netra Isabelle seolah terkunci, fokus pada Maura saja. Tapi ada yang aneh.

"Nona bolehkah saya memeluk anda? sebentar saja."

Padangan nya terlihat pedih. Isabelle seperti menggali luka lamanya. Maura melihat sesuatu dari mata wanita di depannya ini. Sebuah luka. Luka yang cukup dalam.

***

Thank you, for reading


Hope you like it and enjoy this part

Don't forget to vote, comment, and share if you like my story

Be a good readers:)

Find me:

IG : jxst__n.nisa

See you!

With love,
Imaginisa♥

Binding destinyWhere stories live. Discover now