39

1.2K 93 7
                                    

selamat membaca dan menikmati kisah Avner dan Maura

|chapter thirty nine|


     Maura sudah merasa aneh sejak tadi, dari mulai gaun yang terlihat berbeda dari biasanya, Isabelle yang mendandani Maura dengan lebih mencolok, serta suasana yang terasa sepi. Semuanya kelihatan aneh, seperti ada yang tidak beres.

"Isabelle, untuk apa semua ini?" tanya Maura bingung.

Isabelle hanya diam, tak berniat memberi tahu. Ia fokus menatap pada beberapa pekerja yang sibuk menata meja dan kursi, membawa berbagai macam hidangan, lilin, serta taburan mawar merah ke dalam kamar. Hal yang semakin membuat Maura bingung, apa ada acara pesta atau semacamnya? tapi ... di dalam kamar?

"Saya mohon undur diri, Nona."

Isabelle membungkuk, memberi hormat pada Maura bersama dengan pelayan yang lain. Maura hanya mengangguk masih kebingungan, ia menatap kedua kakinya. Maura duduk di pinggiran ranjang dengan bingung, dan penasaran yang luar biasa.

"Hai, maaf membuat mu menunggu lama."

Maura menoleh, menatap malas kearah pintu kamar yang terbuka. Oh, harusnya ia tahu ini. Siapa lagi pelaku di balik segala keanehan ini semua selain pria menyebalkan itu. Siapa lagi selain Avner?

"Ada apa ini? kau mau mengadakan jamuan?" sarkas Maura ketika Avner mendekat kearahnya.

Pria itu hanya tersenyum kecil, menatap Maura secara teliti, ia menghela napasnya. Dari sudut ini, Maura dapat melihat jika kedua netra Avner nampak berkaca-kaca. Pria itu seperti menahan tangis, tapi karena apa?

"Aku hanya ingin makan bersama denganmu," jawabnya.

"Lucu sekali, kita bahkan hampir tiap hari makan bersama," ujar Maura.

"Yah, aku rasa kali ini sedikit berbeda." Avner berjalan mendekat, menggendong tubuh Maura yang terasa ringan. "Biar aku bantu."

Avner meletakkan Maura di atas kursi, melakukannya dengan lembut dan hati-hati. Pria itu tersenyum lagi, bertopang dagu menatap Maura yang mulai kesal dan jengkel.

"Jangan melihatku seperti itu, aku tidak nyaman!"

Avner terkekeh. "Ah, maaf. Aku hanya sangat  merindukanmu."

Maura tertawa hambar. "Haha, lucu sekali. Kita bahkan baru bertemu kemarin malam, kau pandai membual ya."

Avner menatap Maura dalam, ia tersenyum miris. "Aku tidak begitu, aku memang benar-benar merindukan mu."

Avner mengambil tangan Maura, menggenggam nya dengan erat di atas meja. Tatapan pria itu terlihat berbeda kali ini, tidak seperti biasanya. Maura menyadari satu hal, bahwa untuk saat ini jantungnya bekerja normal. Ia bahkan tidak merasa berdetak cepat, bahkan ketika jemari Avner mengusap lembut tangannya, atau ketika pria itu mendaratkan kecupan kecil di punggung tangannya. Maura merasa biasa saja. Aneh.

"Kau kelihatan menggelikan kali ini," ucap Maura spontan.

Avner hanya terkekeh, menanggapi dengan santai. "Terserah apa katamu, ayo, kau ingin makan apa dulu?"

Maura menatap pada berbagai hidangan yang tersaji di atas meja, ia menunjuk potongan daging yang dipanggang dengan semangat.

"Aku mau itu!"

"Kau akan mendapatkan nya segera, Tuan putri."

Maura berbinar, menatap piringnya yang berisi potongan daging panggang. Masa bodoh soal segala keanehan ini, ia lapar dan butuh makan. Tidak peduli sama sekali meski Avner hanya diam, bertopang dagu sembari tersenyum seperti orang gila di depannya.

"Makan secara perlahan, sayang."

Maura diam, kunyahan pada mulutnya berhenti. Ia menatap Avner aneh, sungguh tidak biasanya pria itu memanggil nya dengan panggilan yang berbeda. Biasanya Avner hanya akan memanggil Maura dengan sebutan 'Amour' sampai kadang gadis itu muak sendiri. Tapi kali ini ... kenapa lain?

"Sayang, kenapa diam? apa dagingnya tidak enak?"

Maura tersentak, ia menggeleng. "Tidak, bukan apa-apa."

Ia kembali melanjutkan kunyahan nya, masih dengan Avner yang bertingkah aneh di depannya saat ini. Maura meneguk air di dalam gelas, tepat ketika potongan terakhir daging masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah lega, perutnya kenyang sekali. Daging ini rasanya begitu enak, terasa berbeda, terasa sangat luar biasa.

"Dagingnya enak sekali, tidak seperti biasanya," ujar Maura.

"Tentu, itu kan daging kesukaan mu."

Maura mengangguk menanggapi, ia meletakkan gelas kosong di atas meja. Maura menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Bersidekap dada menatap pada Avner.

"Jadi Tuan Avner yang terhormat, apa yang kau inginkan kali ini?"

Avner menyatukan alisnya bingung, meletakkan dagunya di antara kedua tangannya di atas meja. Ia tersenyum, namun senyuman Avner terasa aneh. Maura merasa asing.

"Bagaimana dengan berkeliling istana?"

Maura memutar bola matanya malas. "Sudah bosan, kau kan sudah sering mengajakku mengelilingi bangunan menyeramkan ini."

Avner terkekeh, ia berdiri dari tempat duduknya. Avner mengusap lembut pipi Maura, membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. Ada apa ini? kenapa Avner bertingkah aneh?

"Bagaimana dengan ..."

Avner mendekat kan wajahnya ke arah Maura, menyatukan hidung mereka sebentar. Ia tersenyum miring.

"... Ruang bawah tanah? kau belum pernah kesana kan?"

Maura diam, menatap netra Avner yang berkilat merah. Ia merinding. Avner terlihat menakutkan saat ini. Maura ingin lari, sejauh mungkin.

***

   
 

  Isabelle meremas nampan yang ia bawa, punggung nya bersandar tepat di depan pintu kamar milik Maura. Ia nampak begitu cemas, menggigit bibirnya dengan keras.

"Isabelle, apa yang kau lakukan disini?"

Isabelle tersentak, ia menatap kaget pada sosok pria di depannya saat ini. Isabelle menahan napas, mencengkeram nampan di dadanya dengan kuat.

"Kenapa kau ini? seperti iblis rendahan bodoh," ucap pria di depannya.

Isabelle hanya menggeleng, ia menatap pintu dengan cemas.

"Ah, disini kau rupanya."

kedua iblis itu menoleh, menatap pada Ares yang datang dengan tergesa-gesa. Ares membawa sebuah buku tebal di tangan kanannya. Wajahnya terlihat terkejut ketika melihat sosok pria di samping Isabelle. Ares mengatur napas, mencoba menetralkan ekspresi wajahnya.

"Anda mencari saya, Tuan?" tanya Isabelle dengan gugup.

"Tadinya begitu," jawab Ares. "Ayo ikut aku, dan kau juga." Ares menunjuk pria di samping Isabelle.

Isabelle mengangguk, ia membungkuk memberi hormat, kemudian menoleh pada pria di sampingnya. Isabelle mencoba tersenyum, meski harus ia akui jika ia ketakutan setengah mati sekarang. Wanita itu memberi jalan, mempersilahkan dengan penuh hormat.

"Mari ikuti hamba ..."

Isabelle menunduk dalam.

"... Yang Mulia."


***

Thank you, for reading

Hope you like it and enjoy this part

Don't forget to vote, comment, and share if you like my story

Be a good readers:)

Find me:

IG : jxst__n.nisa

See you!

With love,
Imaginisa♥

Binding destinyWhere stories live. Discover now