41

1.2K 78 23
                                    

 Selamat membaca kisah Avner dan Maura

|Bagian: Empat puluh satu|






Avner menatap jengah pada Ares yang dengan tenang menikmati minumannya, sudut bibir pria itu terangkat sedikit ketika melihat wajah putranya yang mulai memerah, Ares tahu dengan jelas jika Avner kesal, anak itu memang tidak jauh berbeda dengannya.

"Katakan apa mau mu pria tua, aku tidak datang di panggil kemari untuk melihat mu minum air," ucap Avner jengah.

Ares terkekeh. "Tenangkan dirimu Avner, apa salah jika aku ingin duduk bersama putra ku?"

Avner menggeram kesal, ia bangkit dari duduknya menatap tajam pada Ares dan Isabelle. "Kau membuang waktu ku yang berharga."

Ares menaikkan alisnya ketika Avner berlalu dengan langkah tergesa, pria itu terkekeh kecil. Gelas berlapis emas yang semula berada di genggaman nya kembali berada di atas meja, Avner menoleh kepada Isabelle yang tak kunjung membuka suara.

"Isabelle."

"Ya, Tuan."

"Kau mulai menaruh simpati pada gadis itu bukan."

Isabelle mencengkeram kedua tangannya, ia tak tahu harus menjawab dengan apa.

"Kau diam, itu berarti dugaan ku benar," ucap Ares, "gadis itu bukan Laura, kau tidak pantas mengasihani dia, Isabelle."

Remasan pada kedua tangannya semakin kuat, Isabelle menatap ke arah Ares yang kembali meneguk minumannya. Ya, ucapan pria itu memang benar, tapi entah kenapa Isabelle dapat merasakan sosok kakak iparnya ada pada Maura, mereka seperti satu orang yang sama namun dengan nama yang berbeda. Maura dan Laura terlihat sama persis, membuat Isabelle jadi ragu....

Apakah Laura benar sudah mati?


***




Hal yang pertama kali Maura lihat ketika terbangun adalah wajah penuh ke khawatiran dari Avner, pria itu duduk di samping nya dengan salah satu tangannya mengusap lembut wajah gadis itu. Maura diam sejenak, mengingat kembali apa yang baru saja terjadi, ia kembali menatap Avner, pria itu tersenyum lega kemudian mencium puncak kepalanya.

"Syukurlah kau sudah sadar, amour. Bagaimana keadaan mu? ada yang sakit? atau kau masih pusing?"

Maura menggeleng. "Aku baik-baik saja."

Avner mengangguk mengerti, ia memberikan segelas air putih kepada gadisnya untuk di minum, kasihan sekali Maura, ia pasti kehausan.

"Amour, kau pergi kemana tadi? aku sangat takut ketika melihat mu tidak sadarkan diri seperti tadi."

Dengan lembut Avner mengusap surai gadis kesayangan nya itu, kedua netranya menatap Maura dalam. Memberi tahu seberapa ketakutan nya ketika melihat Maura tak berdaya.

"Ruang bawah tanah."

Usapan Avner terhenti, mendadak tubuhnya menegang. Raut wajahnya berubah menyeramkan, Maura dapat melihat dengan jelas netra milik Avner yang berganti merah. Kedua tangan kokoh itu membantu Maura untuk duduk, mengunci nya di antara kedua kungkungan lengan kekar Avner.

"Maura, bukankah sudah ku peringatkan untuk tidak mendatangi tempat itu?"

Maura menelan ludah, ia mengangguk. "Tapi Avner kau yang mengajakku kesana."

Avner menatap Maura bingung. "Apa maksudmu?"

"Tadi kau mengajakku makan lalu menyuruhku mengenakan gaun ini, kau juga menggendong ku ke ruang bawah tanah, tapi kemudian kau menghilang begitu saja."

Avner menarik diri, menatap Maura dengan raut wajah bingung. Apa maksud perkataan gadis ini. bukankah sudah jelas jika ia sibuk mengurusi urusan kerajaan yang tak ada habisnya, lalu kemudian menemui si tua bangka itu di ruangan nya, jadi kapan ia dan Maura melakukan semua itu?

"Amour, jangan main-main denganku," ucap Avner penuh penekanan.

"Avner aku tidak berbohong, aku jujur, kau lah disini yang main-main denganku."

Avner menatap netra Maura, menelisik isi pikiran gadis itu, namun nihil Avner sama sekali tak menemukan kebohongan, Maura benar, ia mengatakan yang sejujurnya.

Tapi jika benar begitu lantas siapa pria yang menyamar menjadi dirinya? lalu berusaha membongkar rahasianya dengan membawa Maura ke ruangan bawah tanah.

Maura menelan ludah takut, ketika melihat kepulan asap hitam tiba tiba keluar dari tubuh Avner. Ia mencengkram selimutnya dengan erat, jika saja bisa menghilang Maura pasti sudah melakukan nya sedari tadi.

"Avner?"

Avner yang tengah tenggelam dengan pikirannya sendiri kemudian menoleh, menyadari jika gadis di depannya ini takut. Kedua tangannya terulur memeluk Maura dengan lembut, di usapnya surai hitam milik gadis itu, salah satu bagian tubuh yang Avner sukai dari Maura.

"Maaf Amour, maaf membuatku takut."

Maura mengangguk. "Iya."

"Lain kali kau tidak boleh kesana lagi ya, aku mengkhawatirkan mu."

Maura hanya mengangguk dalam pelukan pria itu, ia sangat bingung padahal baru beberapa jam yang lalu pria itu dengan suka cita mengajaknya untuk melihat bagaimana ruangan bawah tanah itu sebenarnya, lalu tiba-tiba sekarang Avner kembali melarang dirinya untuk ke ruang bawah tanah, ah membingungkan, pola pikir pria memang susah untuk di tebak.

"AMOUR APA YANG TERJADI DENGAN TENGKUK MU?!"

Maura sedikit terhuyung ketika Avner mendorong paksa tubuhnya menghadap ke depan, Avner menatap dengan wajah murka ketika melihat dengan jelas ada luka lebam di tubuh gadisnya. Netranya memerah, dengan kabut hitam yang menyelimuti tubuhnya. Avner marah, sangat marah, seseorang baru saja menyakiti gadisnya. Miliknya.

"Kubunuh kau Javier sialan!"

***

Thank you, for reading

Hope you like it and enjoy this part

Don't forget to vote, comment, and share if you like my story

Be a good readers:)

Find me:

IG : urfav_caca

See you!

Binding destinyWhere stories live. Discover now