43

446 19 4
                                    

 Selamat membaca kisah Avner dan Maura

|Bagian: Empat puluh tiga|






   Avner mengusap kepala Maura, gadis itu berkata jika kepalanya pusing, tubuhnya sakit, dan telinganya berdengung. Kemudian merengek jika ia lapar, lalu setelah mengeluh karena kekenyangan. Avner mengusap wajah Maura dengan sangat lembut, ia menilik gaun merah yang dikenakan oleh Maura. Avner ingat jelas tidak pernah memberikan Maura gaun seperti itu, dan lagi, ia seperti tidak asing dengan bentuk gaun ini.

"Avner...."

Avner menunduk, ia tersenyum lembut. "Ada apa amour? masih sakit? atau apa?"

Maura menggeleng, "Aku rindu Ayah dan Bundaku," ucapnya dengan nada sedih.

"Memangnya mereka kemana?"

"ke surga."

Maura menarik napas panjang, kemudian menghembuskan nya dengan keras, ia merubah posisinya menjadi duduk. Maura memajukan tubuhnya, mengikis jarak antara dirinya dan Avner.

"Kau bisa membawaku ke surga?" tanyanya spontan.

Avner terkekeh, "Kenapa bertanya seperti itu? memang aku malaikat atau apa?"

Bahunya merosot, Maura menunduk lagi, benar juga. Wajah kriminal seperti itu, jika pun benar, mungkin Avner adalah malaikat yang berjaga di neraka. Cocok, karena aura pria itu menyeramkan, dan gelap.

"Lupakan."

Maura kembali berbaring, membelakangi Avner. Suasana hatinya buruk sekali, ia tiba-tiba teringat orang tuanya, dan leta. Ah, benar LETA!

"AKU MAU KERUANGAN BAWAH TANAH LAGI!"

Avner tersentak, tubuhnya di goncang dengan keras oleh Maura.

"Avner aku mau ke ruangan bawah tanah sekarang!"

Avner menggeleng, "Tidak amour, disana bukan tempat yang baik untukmu."

"Tapi temanku ada disana, Leta di kurung disana," Maura menatap tajam. "Pasti kau yang telah mengurung temanku disana!"

Avner menatap bingung, ia sama sekali tidak mengerti apa yang di maksud gadisnya sekarang. Ia sama sekali tidak merasa memenjarakan seseorang bernama Leta, Avner bahkan tidak mengenalnya.

"Apa maksud mu, Amour, aku sama sekali tidak mengerti."

"Jangan pura-pura bodoh, Avner," ujarnya, "bawa aku kesana, sekarang!"

Maura menatap tajam, tangannya terkepal. Sementara Avner hanya diam, menatap balik pada gadisnya, ia menghela napas kemudian mengangguk.

"Baikhlah, kita kesana."

**




Loucy membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna hitam dengan temaram cahaya lilin yang berada di ujung ruangan, ia memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit.

"Nyonya, sudah bangun, ada yang bisa saya bantu?"

Loucy menoleh pada seorang pelayan yang sedari tadi sudah berdiri di samping ranjang, ia menggeleng.

"Tuan Ares sedang keluar sebentar, ia memerintahkan hamba untuk menemani nyonya."

Loucy tersenyum, "Terimakasih, Isabelle."

Isabelle mengangguk, ia menyodorkan segelas air pada Loucy yang langsung di minum oleh wanita itu. Tenggorokan nya terasa sangat kering, tubuhnya juga pegal luar biasa.

"Aku di negeri kalian?" tanyanya.

Isabelle mengangguk, "Iya nyonya."

Loucy menundukkan kepalanya, ia benar-benar tidak ingat jelas apa yang terjadi terakhir padanya. Ia mencoba untuk bangkit, dengan di bantu Isabelle. Loucy berjalan ke arah pintu yang kemudian di halang langsung oleh Isabelle.

"Maaf, nyonya, Tuan memerintahkan saya untuk tidak membiarkan nyonya keluar sampai Tuan kembali."

Loucy menghela napas, ia mengangguk, netranya menatap kearah pintu sekilas, sebelum hendak berbalik lagi ke ranjang, samar-samar Loucy dapat mendengar dengan jelas sebuah suara yang berasa dari luar pintu kamar. Suara tawa yang Loucy kenal dengan jelas meski ratusan tahun tidak pernah terdengar lagi.

"Avner..... dan Laura?"

***


Ares memutar kursinya, ia menatap kearah cermin besar di samping meja nya. Ruangan bawah tanah, tepatnya pada satu sel berisikan wanita dengan bayi di perutnya.

"Jadi akan kita apakan?" tanya Ares.

Axel yang berada di sudut ruangan menyeringai, berfikir seperti menimang-nimang sesuatu.

"Berapa yang akan kudapatkan untuk bayi setengah manusia dan iblis?"

Ares terkekeh, meletakkan gelas nya di atas meja, "Wah wah, ucapanmu itu."

"Apa? aku hanya bertanya."

Ares kembali memperhatikan dengan detail, wanita itu menangis sembari mengusap perutnya, tampilannya lusuh sekali dan juga penuh luka. Ah, menarik.

"Kau hanya ingin bayinya?" tanya Ares.

"Apa pak tua? kau ingin wanita itu?"

Ares berdecak, melemparkan gelasnya kearah wajah Axel, pria itu kalau bicara tidak pernah berpikir panjang.

"Tidak berguna untukku, tidak bisa di jadikan persembahan."

Axel mengernyitkan dahinya, "Kenapa?"

"Bukan darah murni," ujarnya. "Mereka sudah berhubungan bukan? gadis itu tidak suci lagi."

Axel tertawa terbahak, ia bangkit dari duduknya berdiri tepat di depan meja Area, menatap lelaki itu dengan remeh.

"Ah, memangnya kau percaya putramu tidak menyentuh gadis itu?"

Ares tersenyum miring, "Sangat yakin."

"Kenapa?"

"Karena putraku bukan iblis rendahan seperti mu."

Axel berdecih, "Sialan."

***
Terimakasih sudah membaca
Have a nice day yaaaaa<3

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Binding destinyWhere stories live. Discover now