12. Dia....

19.2K 2.3K 167
                                    

Kuy,  typo berantakan.
Part belum di revisi.
Tolong maklum aja. Lagi malas.

***

"Ellina,"

Suara berat itu membuat tubuh Ellina menegang. Kepalanya dengan sangat pelan menoleh kebelakang. Dia terpaku, pada pria yang baru saja memanggil namanya. Tubuhnya berdiri dengan cepat. Dia menatap dari atas hingga bawah, tubuhnya bergetar pelan. Ada banyak hal yang dia pikirkan, tapi bahkan satu kata sapaan saja tak sanggup keluar dari bibir tipisnya.

Mereka berdua hanya saling menatap. Tak ada yang mencoba bergerak atau mendekat lebih dulu. Mereka hanya saling diam, dan memandang satu sama lain. Ada riak keterkejutan di antara keduanya. Hal itu cukup terlihat jelas.

"Aku," ujar pria itu menggantung dan tak terselesaikan. "Aku, Ellina, aku ...,"

Ellina melangkah pelan dan tersenyum tipis. Binar matanya terlihat terang. Dia melangkah hingga berdiri tepat di hadapan pria yang memanggilnya. Saling menatap dengan binar kerinduan.

Ada helaan napas yang terdengar di antara keduanya. Mereka berdua cuma saling menatap dalam beberapa waktu. Dan tak ada yang mencoba memulai sesuatu. Hal itu menjadi sorotan semua orang. Bagiamana keduanya terlihat sangat canggung tapi tatapan penuh kerinduan terlihat jelas. Bagaimana keduanya terlihat sangat serasi saat mereka berdiri bersama. Dan hal itu menjadi sorotan mereka semua.

"Aku kembali," ujar Ellina tiba-tiba. Dia kian mendekatkan tubuhnya. Menunduk sedikit karena merasa wajahnya sedikit tak nyaman. Matanya perlahan berair, ada bulir yang menggantung dan saling berdesakan untuk keluar. Membuat bulu mata panjangnya menjadi basah. "Ernest, aku kembali."

Ernest hanya diam. Dia menatap wajah cantik yang baru saja bersuara. Dia tak percaya penglihatannya beberapa saat lalu. Berpikir bahwa gadis yang dia panggil hanya seseorang yang mirip. Tapi saat gadis ini memanggil namanya, jiwanya bergetar. Seluruh hatinya bagai di selimuti musim semi yang indah. Di matanya ada banyak kilatan emosi yang kompleks.

Ernest pelan mengulurkan tangannya. Menyentuh pipi Ellina dengan sangat lembut. Dia tersentuh, saat kulit halus itu benar-benar terasa dalam gengaman tangannya. Mengelus pipi Ellina pelan, bibirnya terkatup rapat dengan suara tertahan di tenggorokan. Seluruh pikirannya kosong, ia tak dapat memikirkan apapun saat ini.

Ellina tersenyum, membiarkan tangan Ernest mengelus pipinya. Perlahan, air mata yang dia tahan pun turun. Mengalir pelan di pipinya dan menyentuh tangan Ernest yang berada di pipinya. Sepertinya rasa rindunya lebih besar dari yang dia perkirakan. Hingga dia hanya bisa diam saat Ernest terlihat tak bersuara.

Melihat itu tubuh Ernest membeku. Dia menatap Ellina yang memejamkan matanya sesaat. Perasaannya membuncah, kerinduannya pecah. Dia menghapus air mata yang menyentuh tangannya. Hatinya bagai terengut dan hanyut dalam rindu yang dia rasakan.

"Permataku,"

Hanya kata itu yang dapat keluar dari bibir Ernest. Selanjutnya tangannya dengan cepat menarik tubuh Ellina ke dalam pelukannya. Dia menghirup aroma tubuh Ellina dalam-dalam. Berharap itu dapat mengobati rasa rindunya. Tapi, nyatanya semua kian tak tertahankan. Perasaanya kian tak bisa dikendalikan dan seluruh hal yang telah dia rencakan hilang.

"Kau nyata, kau kembali, kau --"

"Aku pulang," potong Ellina. "Sudah kukatakan, aku burung yang tak akan lupa pada rumahnya," ingat Ellina pada janji mereka dahulu.

Mendengar itu Ernest tersenyum. Dia ingat janji itu, dan meski telah menghilang lama, permatanya tetap kembali pada dirinya. Perasaannya kian menghangat. Dia tak memiliki kata-kata lagi untuk di keluhkan. Semua menguap di udara. Saat ini, semua rasanya telah cukup. Dia bahagia, permatanya kembali, dan itu baik-baik saja.

Sweet Dream CinderellaWhere stories live. Discover now