30. Kontrak Kerja sama.

14.9K 1.8K 74
                                    

Pagi ini Ellina terihat jauh lebih segar dan membaik. Matanya meneliti tumpukan buku juga buket bunga mawar biru  lengkap dengan buket coklat yang telah tergeletak di meja nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya tak tergerak sama sekali untuk menyentuh salah satunya. Tapi minatnya berubah baik saat pintu ruangannya terbuka  dan sosok Vania masuk dengan tergesa.

"Kau sudah bangun?"

Ellina menahan senyumnya, bertindak seolah dia benar-benar baru bangun dari tidurnya. "Oh, Ibu menungguku?" tanyanya tanpa rasa bersalah meski dia tahu Vania telah dua kali datang pagi ini untuk bertemu dengannya. Dia sengaja menutup matanya seolah tidur nyenyak dan tak tergerak pada siapapun yang datang.

"Ell, kau harus membantu ibu. Ibu mohon, hanya kau yang bisa membantu,"

Tatapan Ellina bergeser, seakan berminat pada permintaan Vania. Dia menahan rasa ingin tahunya dengan tatapan tak mengerti. "Apa yang bisa kubantu?"

"Keluarkan Lexsi dari sana. Dia tidak gila. Ayahmu tak mendengarkan permintaanku dan yakin bahwa Lexsi gila. Dia percaya pada kata-katamu sebelum pinsan,"

Ellina menatap dua tangan Vania yang tergerak menangkup  tangannya dalam gengaman hangat dalam tatapan penuh permohonan. Dia melihat riak keputus asaan yang dalam. Seperti kantung mata hitam yang terlihat jelas dengan wajah cekung yang tirus. Dia tahu, Vania pasti mengalami malam yang berat hingga menjadi sedikit kurus.

"Ibu, aku tak tahu apa yang kau katakan," ujarnya dengan menggelengkan kepalanya sedikit. Wajahnya telihat bingung dengan tatapan bodoh yang tak tahu apapun. "Apakah aku mengatakan Lexsi gila?" kini dia pura-pura lupa.

Vania mengeratkan gigi-giginya saat melihat wajah polos Ellina yang tampak bingung. Garis halus wajah cantik di depannya benar-benar membuatnya ingin mencakar atau melukai dengan pisau. Dia benar-benar membenci anak ini sampai mati. Namun dia hanya bisa menahannya dengan anggukan ketidakberdayaan.

"Kau mengatakannya. Dan ayahmu benar-benar memasukkan Lexsi ke dalam rumah sakit jiwa,"

Ellina menarik tangannya yang di genggaman Vania. Membawanya menuju bibirnya dengan ekspresi terkejut. "Oh, ayah benar-benar memasukkan Lexsi ke rumah sakit jiwa?" dua sudut bibirnya terangkat ke atas sedikit. "Tapi bu, bukankah hal yang dilakukan ayah benar?" tanyanya pelan. Raut wajahnya berubah dingin dengan tatapan benci dan dendam yang membara. Dia berbisik pelan dengan kata-kata penuh penekanan. "Dia pantas mendapatkannya,"

Vania tergerak mundur tanpa sadar. Bisikan itu sangat dingin hingga menembus jantungnya. Dia juga melihat tatapan benci yang penuh dendam seperti tatapan yang selalu Lexsi tunjukkan. "Ka-kau, beraninya!"

Vania mengangkat tangannya dengan tujuan menampar wajah Ellina. Namun  siapa yang menyangka bahwa pintu kamar tersebut tergerak dan suara dingin membekukan gerakannya. Terlebih saat melihat senyum Ellina, entah kenapa perasaannya menjadi buruk

"Apa yang kau lakukan!"

"Ayah,"

Aldric masuk dan melihat Vania yang baru saja menarik turun tangannya. "Apa kau mencoba menyakiti Ellina juga?"

Vania menggeleng tanpa sadar. Dia terlihat bingung dan takut. Terlebih saat suara manja Ellina terdengar kembali.

"Ayah, jangan tegur ibu. Dia tak melakukan apapun padaku. Bukankah begitu, Ibu?" tanya Ellina dengan tatapan muak pada Vania.

Vania mengangguk sekali lagi. Memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Aku hanya melihat kondisinya dan memastikan makanan apa yang ingin dia makan saat pulang  nanti."

Tatapan Aldric masih tak berpindah dari wajah Vania seakan mencari kebenaran. Meski Ellina mengatakan tak terjadi apapun, tapi dia tak akan percaya semudah itu.

Sweet Dream CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang