9✓ Mamero Cafe

15.7K 1K 27
                                    

  Akhirnya Dyandra sudah sampai di depan cafe milik bundanya yang lumayan ramai. Setelah dia membayar taksi, dia langsung turun dari mobil tersebut. Angin sore berhembus kencang menerpa wajahnya.

  Langkah kakinya membawanya masuk ke dalam cafe, di dalam cafe cukup ramai oleh pengunjung yang datang. Dia mendorong pintu bersamaan dengan suara bunyi bel berbunyi.

"Selamat dat-" ucapan itu terhenti.

"Dyandra?" tanya Cici yang sedikit terkejut melihat kedatangan Dyandra yang tiba-tiba.

"Hai Kak Cici, maaf ya gak ngabarin," jelas Dyandra sambil tersenyum.

"Gue kangen lo, gue denger lo kemaren kecelakaan? Maaf ya gak bisa jenguk harus jaga cafe, sekarang keadaan lo gimana?" tanya Cici sambil memeluk Dyandra dengan erat.

"Udah baikan kok, Kak," jawab Dyandra sambil membalas pelukannya.

  Cici meleraikan pelukannya, dia tersenyum pada Dyandra. Dyandra sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Mulai sekarang yang mengolah cafe kita berdua, ya. Gaji Kak Cici gue naikin," seru Dyandra sambil terkekeh pelan.

"Beneran?!" tanya Cici, dia masih tidak percaya. Keluarga Dyandra sangat baik padanya, sudah mengizinkan dirinya tinggal di cafe dengan fasilitas dipenuhi seperti kasur dan lainnya, di gaji pula.

"Iya, Kak Cici," ujar Dyandra.

"Gue hutang budi sama keluarga lo, udah dikasih tempat tinggal di sini, kerja digaji, sekarang lo naikin lagi gaji gue. Gue bersyukur banget, kalo gini gue bisa lunasi hutang bokap gue," jelas Cici, matanya mulai berkaca-kaca.

   Cici merantau dari kampungnya, dia harus membayar hutang ayahnya setelah meninggal. Hal itu, membuatnya harus mencari kerja di Bogor. Cici masih berumur 22 tahun sekarang, sudah banyak rintangan yang harus dihadapi sendiri. Tapi dia bersyukur, keluarga Hasley mau membantunya.

"Bagus dong, Kak. Biar Kakak bisa tenang gak dikejar-kejar orang," balas Dyandra sambil tersenyum.

"Makasih banyak ya, Dy," seru Cici merasa terharu.

"Sama-sama, Kak," kata Dyandra sambil tersenyum kembali membuat matanya sedikit menyipit.

"Ayo! Jangan diem di pintu mulu," ujar Cici, mereka berdiri di depan pintu masuk yang membuat menarik banyak pasang mata.

  Dyandra menoleh ke belakang dan baru saja sadar, "Eh iya, Kak."

Dyandra dan Cici berjalan ke meja yang biasa di tempati Dyandra datang. Dyandra menaruh tasnya di meja, lalu menatap sekitar. Rindu dengan bundanya semakin menyeruak.

"Rame nih, Kak," gumam Dyandra, banyak pengunjung yang datang.

"Iya rame"

"Dinding itu terlalu polos, gimana kalo kita cat biar lebih menarik?" tanya Dyandra menunjuk dinding berwarna putih polos yang berada di pojok.

"Boleh tuh, biar menarik pelanggan juga," sambung Cici, memang terlalu polos dinding itu sejak lama.

"Enaknya, mau diapaain? Kakak punya kenalan buat yang ngecatnya?" tanya Dyandra, gadis itu menyanggah dagunya menggunakan tangan kanannya.

"Ada sih kenalan, mau dicat gimana?" jawab Cici yang sedang menatap dinding polos itu.

"Jadiin spot foto aja di situ, kalo bisa pengerjaannya mulai besok," timpal Dyandra. Zaman sekarang kemana-mana aja pasti foto.

"Mau kayak gimana?"

"Latar tahun 90an aja, bagus itu. Urus aja sama Kak Cici, nanti aku liat hasilnya aja," balas Dyandra sambil terkekeh. Dia lebih baik terima jadi dari pada ikut campur.

Althaf {END} Where stories live. Discover now