7. Narajengga Leo Pradipta

105 20 126
                                    

“Gue mau ikut ekskul kickboxing yang ada di sekolah demi Alena!”

Mendengar itu Leo menahan tawa. Sesekali dia melirik Pak Jona yang ada di depan kelas. “Lo yakin? Lo 'kan nggak bisa olahraga!”

“Yakinlah, demi dia, gue bakal lakuin apa aja,” tutur Juna yang mengarahkan ibu jari pada Alena.

“Emang Alena bakalan mau sama lo, kalo seandainya lo bisa bela diri? Ya, kayak tau lo ikut kickboxing gara-gara dia?”

Juna terdiam. “Nggak tau juga, sih. Yang penting gue udah coba dan gue yakin, dia bakalan agak luluh sama gue.”

Leo menarik ujung bibir sebelah kiri. “Agak, ya? Nggak sekalian luluh beneran?”

“Penginnya sih, gitu.”

“Dengerin gue, Jun, cewek itu nggak suka cowok yang berjuang mati-matian demi dia. Itu emang keliatan macho, tapi gue rasa Alena nggak bakalan setuju kalo lo sampai belajar bela diri demi dia. Apalagi lo nggak bisa olahraga. Nendang bola aja bagusan adik gue yang baru kelas empat SD,” ungkap Leo yang membuat Juna tertegun.

Suasana mendadak hening, baik Leo maupun Juna sama-sama berkutat dengan pikirannya masing-masing. Kemudian suara Juna membuat Leo menatapnya.

“Iya, sih, gue juga sempat dikasih tau Wilda kalo cewek itu sukanya cowok yang sederhana, nggak berjuang mati-matian buat dapetin hati cewek. Tapi, gue pengin coba dulu, Yo. Apa pun konsekuensinya gue bakalan hadepin kok,” akunya penuh keyakinan.

Leo berdecak menghadapi sahabatnya yang keras kepala. “Serah lo aja, deh.” Dia terdiam menatap reaksi Juna yang tersenyum lebar lalu bertanya, “emang lo mau mulai latihan kapan?”


“Hari ini gue nggak bawa baju olahraga. Lagian gue juga belum tau jadwalnya hari apa aja.” Mendengar penjelasan Juna, Leo hanya mengangguk-angguk.

***

Setelah kemarin meminta izin kepada Pak Tamrin, yang tak lain adalah salah satu pelatih kickboxing, akhirnya Juna berada di sini sekarang. Dia saat ini berada di ruangan yang tak terlalu besar kira-kira berukuran 24 meter × 16 meter dengan didominasi warna biru langit. Isinya berbagi peralatan olahraga seperti, punch mitt, head guard, sarung tinju, beberapa samsak yang menggantung di sudut ruangan sebelah kiri, dua barbell di sudut ruangan sebelah kanan ditambah dumbbell di dekatnya. Ruangan ini tidak terdapat ring karena khusus digunakan untuk latihan saja, lantainya dilapisi karpet olahraga. Berbeda dengan gor taekwondo yang cukup luas ditambah terdapat kursi penonton yang bisa menampung seribu sampai tiga ribu orang yang biasa digunakan sebagai lokasi turnamen antar sekolah.

Juna bersyukur karena dia bisa bersekolah di sini yang fasilitasnya lengkap sampai ke fasilitas ekstrakurikulernya. Ini semua cukup untuk menunjang aksi pedekate-nya.

Tak banyak murid yang mengikuti ekstrakurikuler ini, kebanyakan mengikuti taekwondo dan pencak silat. Hanya ada sembilan siswa laki-laki yang berbeda jurusan dan berbeda kelas di sini. Mungkin karena ekstrakurikuler ini lebih menantang dibanding yang lain. Pada ekstrakurikuler ini tidak ada perempuan yang bergabung, bukan karena perempuan dilarang bergabung di sini, melainkan mereka berpikir kickboxing adalah olahraga khusus lelaki.

Menatap alat-alat yang tersebar di setiap penjuru membuat Juna kurang yakin. Namun, dia menguatkan diri demi Alena. Juna harus bisa mendapatkan hati Alena apa pun caranya! Cinta berhasil membuat dia hampir gila.

Tak berselang lama, dua orang pelatih menghampiri mereka. Mereka langsung disuruh pemanasan dipimpin oleh seorang siswa berkulit gelap yang tingginya mencapai 175 cm.
Setelah melakukan pemanasan mereka disuruh lari di lapangan sekolah yang biasa digunakan untuk olahraga.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora