15. Lui è Arjuna

56 15 69
                                    

“Lo kenapa, sih?” Mendengar pertanyaan Nisya, Alena menggeleng.

Nisya menghela napasnya, dia bingung dengan sifat Alena yang seperti ini. “Ayolah, sekarang lo yang bicara! Bukannya seorang sahabat itu harus terbuka? Oh, atau lo udah nggak anggap gue sahabat?"

Alena terdiam mendengar penuturan Nisya. Jujur, dia bukan orang yang pandai menceritakan dirinya sendiri pada orang lain, apalagi pada Nisya yang notabenenya sebangku dengan Alena.

Masalahnya bukan karena Nisya tak mau mendengarkan segalanya, tetapi Alena takut orang-orang di sekelilingnya menilai dia aneh. Jika saja orang-orang tahu kehidupannya di rumah, apalagi saat dirinya berusia empat belas tahun, mereka pasti menilai Alena aneh.

“Nyokap marah sama gue,” kata Alena pelan yang langsung berdiri. Saat Alena hendak melangkah, Nisya mencekal lengannya.

“Lo mau ke mana?”

“Gue pengin sendiri.” Setelah mengatakan itu, Alena berderap keluar tanpa memedulikan Nisya yang memanggil namanya meski pelan. Gadis itu juga mengabaikan kehadiran guru yang tengah fokus pada benda pipihnya.


***


“Lo ke mana aja? Kok nggak aktif?” Pertanyaan itu membuat aksi Alena yang tengah mengeluarkan motor dari parkiran terhenti. Dia mendongak pada lelaki yang mengenakan jaket berwarna hitam.

“Paketan gue habis,” ujarnya pelan sembari menatap mata laki-laki itu.

Lelaki di hadapannya tersenyum, dia merogoh saku celananya dan menyerahkan uang berwarna merah pada Alena. “Buat beli paketan, ambil aja!”

Melihat tidak ada respons dari Alena, lelaki itu meraih tangannya. Dia langsung meletakkan uang itu pada telapak tangan Alena. Lelaki itu juga, membuat jari-jari tangan Alena menutupi uang yang dia berikan.

Gue pulang, ya? Gue tunggu di tempat biasa.” Alena mengangguk pelan lalu motor yang ditumpangi lelaki itu bergerak menjauh.

Alena membuka kepalan tangannya yang berisi uang. Uang berwarna merah itu sedikit bergerak karena dia membuka kepalannya. Gadis itu langsung mengumpat dan melempar uang itu ke sembarang tempat.

“Adara sialan!” desisnya pelan.

Gadis itu masih kesal pada ibunya dan sekarang dia dibuat lebih kesal oleh lelaki bernama lengkap Adara Diafakhri Wardana!

Bagaimana tidak kesal, uang yang lelaki itu serahkan adalah uang mainan. Pikiran dia langsung membedakan antara Adara dan Arjuna, ya, Juna, lelaki yang memberikan uang asli padanya, sedangkan Adara sebaliknya.

Tak bisa dibohongi, bahwa perasaannya sekarang memikirkan Juna. Memikirkan betapa baiknya lelaki itu dan memikirkan cara dirinya menolak lelaki sebaik Juna. Namun, mau bagaimana lagi, Alena sudah berjanji pada dirinya sendiri. Dia lebih memilih membahagiakan orang tuanya dengan cara dia sendiri, bukan dengan bantuan orang lain.


***

Juna melangkah mendekat pada adiknya yang duduk sendiri menghadap hamparan hijau yang diisi berbagai macam tumbuhan. Mulai dari berbagai jenis bunga yang beraneka warna menancap di pot, bunga-bunga yang lebih besar menancap di tanah dan yang tak kalah penting, beberapa sayuran menjadi pelengkap tempat itu.

Juna duduk di samping Wilda. Adiknya itu sedikit tersentak lalu menoleh pelan pada sang kakak. “Kamu kenapa, Dek? Tumben banget ngelamun, apalagi di taman belakang. Biasanya juga di taman depan.”

Wilda tak menjawab, dia lebih mendekat pada kakaknya lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Juna. Melihat air mata yang tiba-tiba turun dari mata sang adik Juna merasa panik, tetapi dia membiarkannya. Dia mencoba memberikan ruang pada adiknya untuk bicara.

Setelah beberapa saat Wilda menangis, gadis itu mulai bersuara. Dia menjelaskan kenapa dia mulai menangis. Ketika adiknya berhenti bicara, Juna terdiam. Dia merasa gagal menjaga adiknya.

“Maafin Aa, ya?”


***


Alena melangkah dengan kepala tertunduk menuju taman belakang sekolah. Dia ingin menyendiri dan menghirup udara segar yang dihasilkan pepohonan yang ada di sana. Sesampainya di taman Alena bersandar pada pohon lengkeng yang menjulang tinggi dan berdaun lebat, pohon itu juga ditumbuhi bunga-bunga yang akan menjadi buah.

Alena memejamkan mata di sana beberapa saat, sampai telinganya menangkap sebuah pergerakan lain, dia membuka mata. Gadis itu melihat Juna yang kini sedang menatapnya.

“Lo kenapa, hm? Gue perhatiin, dari kemarin lo kayak nggak punya semangat hidup.”

Alena tak menatap wajah Juna, justru dia menatap pada tanah yang ditumbuhi rumput. Suara yang keluar dari mulut Juna barusan seperti air dingin yang menyirami hatinya yang panas. Terasa sejuk. Namun, gadis itu tetap diam. Dia malah menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Tiba-tiba saja, dia teringat pada syarat yang diajukan Juna dua hari yang lalu.

“Gue tau, perempuan itu bisa tenang kalo dia udah ceritain masalahnya ke siapa pun itu,” tutur Juna yang pikirannya terusik dengan kejadian kemarin.

“Gue tau, lo perlu cerita. Masalah itu nggak baik dipendam sendiri buat cewek. Cewek nggak punya kotak kosong di dalam otaknya kayak cowok. Cewek nggak sama kayak cowok yang bisa atasi masalahnya sendiri.”

Alena tak mendengar lagi suara Juna. Namun, tangannya merasa hangat dan perlahan telapak tangan yang menutupi wajahnya bergerak turun. Mata gadis itu langsung bertabrakan dengan netra Juna.

“Lo bisa cerita sama gue, Al!”

Suara Juna yang entah kenapa menjadi sangat lembut membuat dia mengangguk pelan. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. “Nyokap gue marah.”

Alena kembali terdiam. “Lanjutin, lo harus ceritain semuanya biar lo lega. Gue bakalan dengerin, dan gue bisa jaga rahasia,” kata Juna yang membuat Alena mengangguk pelan.

“Apa pun itu bakalan lo dengerin?” Juna mengangguk. “Kalo menyangkut lo gimana?” Tanpa ragu, Juna kembali mengangguk.

Karena pikirannya langsung mempercayai Juna, Alena mulai membuka suara. “Gue dimarahi Mama karena gue nolak lo. Mama tau gue nolak lo karena waktu itu gue lagi teleponan sama Nisya dan bahas tentang gue nolak lo.” Alena terdiam, dia menatap Juna. Lelaki itu hanya menatapnya dengan tatapan ingin tahu. Melihat itu, Alena mengartikan bahwa Juna ingin dirinya melanjutkan bercerita.

“Awalnya, sebelum Mama marah besar itu, Mama sempet marah gara-gara gue selalu pulang malem. Gue selalu pulang malam juga ada alasannya. Gue latihan kick boxing nyampe malam buat event dua bulan lagi.” Alena berhenti bicara, dia menunduk sebentar lalu menghirup udara segar.

“Terus 'kan, Mama itu marah gara-gara gue nolak lo, padahal gue udah jelasin kalo gue nolak lo karena alasan. Lo nggak perlu tau alasannya sekarang, kan?”

Pertanyaan Alena membuat Juna diam. Justru sebaliknya, Juna ingin mengetahui alasan Alena menolaknya, tetapi saat kondisi Alena yang murung lebih baik gadis itu menceritakan apa yang membuatnya seperti ini daripada menjelaskan alasan menolaknya.

“Lo lanjut aja cerita!”

Alena mengangguk. “Yang terakhir ya, itu karena gue nolak lo dan gue latihan kick boxing tapi nggak dapetin apa-apa, dijadiin satu sama Mama dan Mama marah-marah. Gue kesel banget pokoknya!”

Juna mencerna penuturan Alena, dia menatap gadis yang kini menunduk. Perlahan Alena juga mendongak dan menatapnya. Pandangan keduanya beradu.

“Lo hebat, lo kuat dan lo cantik!” ujarnya diiringi senyuman.

Yang nulisnya ini mah yang baper 🤣🤣
Ngehalu kalo Juna itu ada di rl bukan di ilusi nggak apa-apa kali, ya?
Semangat daringnya para readers terlove–meski besok aku libur🤭
Sampai ketemu Ahad depan

2.08.20

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now